Tidak ada teman yang setia seperti buku. Ya kalian boleh bilang saya aneh. Kalian boleh bilang saya gila. Tidak apa-apa. Bebas itu kan pendapat kalian. Saya tidak masalah kok. Saya memang terlahir berbeda. Saya apa yang istilah medis sebut autism. Ya saya terlahir autism. Saya punya dunia sendiri. Cara saya memandang dunia itu berbeda dari orang kebanyakan. Emosi saya bahkan saya tidak tahu apa itu emosian. Saya hanya tahu apa yang saya suka dan yang tidak saya suka.Â
Saya tidak suka ada orang lain menyentuh buku saya. Entahlah pokoknya itu salah dan tidak boleh dilakukan. Semua buku harus saya yang boleh sentuh. Saya simpan, saya tata di rak khusus di kamar. Orang tua ku sudah tahu apa yang saya mau. Apa yang saya suka dan tidak suka. Sehingga masalah datang ketika ada orang "luar" masuk ke rumah kami dan orang itu tidak paham kondisi saya.
Menyebalkan memang tapi saya harus bisa menghadapinya. Kesulitan saya adalah bagaimana bersikap kepada manusia-manusia lain. Saya tidak memahami atau sulit memahami manusia. Maunya apa? Mereka menatap aneh saya. Aneh memang. Memang aneh saya ini di mata mereka-mereka yang katanya normal.Â
Padahal manusia sendiri yang menciptakan klasifikasi-klasifikasi. Menurut saya semua normal. Semua normal ya begitu. Lho kok? Ya begitu semua itu normal sebenarnya. Kalau pikiran kita terbuka.Â
Contoh ya. Coba pikirkan ini. Mana yang normal tinggi atau pendek? Hayo? Hitam atau putih? Nah lho. Trus apalagi? Kaya miskin. Mana yang normal. Ga ada itu semua ya normal. Manusia yang membuatnya. Klasifikasi itu kerjaan manusia. Yang malah menyusahkan manusia itu sendiri. Muncul lah rasisme, sukuisme dan lain-lain. Akhirnya apa? Terjadilah permusuhan dimana-mana. Gara-gara siapa? Ya manusia itu sendiri!
Jadi mana yang normal? Ya semuanya normal. Memang ya ini menurut saya lho ya. Kenapa saya lebih suka dengan buku ketimbang manusia. Buku itu ngga akan marah kalau saya tidak suka trus cari buku yang lain. Memangnya manusia? Dikritik sedikit, marah. Lah kan saya Cuma jujur. Daripada pura-pura suka.Â
Nanti ngomong di belakang kan lebih jelek lagi. Lebih baik di depan langsung. Ya ini salah satu sikap saya yang juga di benci orang-orang sekitar. Saya tidak bisa berinteraksi sosial. Cuma orangtua ku yang bisa memahami manusia seperti saya. Ya ngga apa-apa sih.
Makanya di sekolah tidak ada yang mau berteman dengan saya. Kecuali seorang tua yang kerjanya menyapu halaman. Namanya Pak Suroso. Orangnya baik. Dan pernah suatu ketika saya sedang di bully sama kakak kelas. Beliau yang membela saya. Sejak saat itu saya selalu dekat dengan beliau. Teman ngobrol usai sekolah. Seolah dia memahami ke autisan ku. Dari beliau saya belajar pelan-pelan bagaimana berinteraksi dengan orang lain.Â
Dengan cara mengamatinya berkegiatan di sekolah sehari-hari sambil duduk di taman sekolah. Mengamati orang lain di sekitarku menjadi hal baru yang saya sukai saat itu. Sejak berteman dengan pak Suroso. Saya selain selalu membawa buku kemana-mana. Di saat jeda membaca saya mengamati orang-orang sekitar di taman sekolah yang berada di bawah pohon rindang.Â
Terdapat meja kayu panjang. Yang juga tempat nongkrong anak-anak di sekolah. Asik juga untuk ngobrol dan diskusi. Tidak bagi saya ya. Tetap asik dengan buku sendiri. Saya bahkan tidak menganggap ada orang disekitar. Karena memang saya tidak merasa terganggu juga. Ramai atau sepi. Sama saja.