Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Berjalan Kembali

9 Juli 2020   12:22 Diperbarui: 9 Juli 2020   12:30 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian kita pernah melihat, membaca, atau mendengar langsung. Tentang orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas, di lapangan olahraga mungkin dan kecelakaan lain. Yang mengakibatkan patah kaki misalnya. Kemudian orang itu harus menjalani masa pemulihan sekian bulan agar bisa berjalan kembali. Mereka harus belajar berjalan kembali. Bagaimana harus bisa berdiri di atas kaki sendiri.

Butuh usaha yang tidak hanya menyakitkan tapi juga kesabaran. Sabar menjalani prosesnya. Berbeda dengan kondisi yang memang baru belajar berjalannya bayi. Bayi belum bisa berjalan berproses menjadi bisa berdiri sendiri dan berjalan sampai lari. Sementara contoh kasus orang yang mengalami kecelakaan tadi, sudah bisa berjalan. Kemudian karena kecelakaan, cedera, maka harus belajar jalan kembali. Dua hal yang berbeda.

Berkaca dari contoh kasus diatas, ini bisa menjadi analogi. Ya analogi saat ini. Mungkin sebagian kita mengalami. Selama pandemi ini, sudah kurang lebih tiga bulan. Yang terpaksa di liburkan dari aktifitas kantor. Apapun bidangnya termasuk guru yang biasa mengajar. Saya persempit lagi. Guru yang harus mengajar dari rumah. Menggunakan gawainya. Baik itu laptop atau smartphone. Awalnya menikmati ketika mengajar tidak harus datang ke sekolah. Namun hanya bertahan satu sampai dua pekan.

Selanjutnya mulai terasa jenuh. Membosankan. Ternyata mengajar jarak jauh itu lebih melelahkan jiwa. Kita harus menatap layar gawai. Ya walaupun durasi waktunya jadi lebih singkat. Justru itu membuat penyampaian materi jadi lebih kepada project based learning. Guru lebih banyak memberikan tugas atau proyek.

Guru terkadang lelah mengingatkan anak-anak yang belum mengerjakan. Murid lelah akan tugas yang banyak diberikan oleh gurunya. Yang sebenarnya tidak tepat. Di sinilah ego seorang guru harus diatur. Di setting sedemikian rupa. Tidak mungkin hasilnya sama seperti pembelajaran tatap muka langsung. Video conference bahkan belum bisa menyamai. Berbeda atmosfir nya.

Sebagian guru mungkin juga tidak menggunakan aplikasi video conference. Ya alasannya sudah tahu. Budget kuota internet yang terbatas. Ingat tidak semua kondisi guru berkecukupan. Entah ini seharusnya urusan sekolah atau bukan karena ini menyangkut kegiatan pembelajaran. Tapi sudahlah, tetap melakukan tugas sebagai guru yang mencerdaskan anak bangsa. Tidak banyak yang bisa dikeluhkan. Karena cukup menguras energy lagi. Sementara tugas kita di depan mata harus dilaksanakan. Resiko pekerjaan. Tetap lakukan dengan kemampuan yang ada.

Bagi guru yang tidak menggunakan video conference tadi, mereka hanya mengandalkan google classroom dan whatsapp group. Begitu selama tiga bulan ini. Sehingga bagi saya pribadi, jika nanti akan mulai masuk seperti biasa lagi, sudah terasa kekakuan berbicara ini. Terasa canggung. Atau mungkin ini hanya beberapa guru saja. Tapi saya sudah merasakan itu. Sepertinya saya harus belajar kembali berbicara di depan murid seperti semula. Inilah kenapa analoginya seperti pembahasan di awal tulisan.

Ya ini mewakili mungkin sebagian guru yang mengalami kekhawatiran ini. Saya hanya mencoba mengungkapnya disini. Mungkin ini bisa menjadi bahan diskusi selanjutnya. Untuk sebagian sekolah atau pondok pesantren, terutama di zona hijau, maka kegiatan pembelajaran akan segera dilaksanakan. Secara bertahap dan sesuai protokol kesehatan. Dalam waktu dua pekan lagi. Maka saya mulai melatih cara berbicara. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan.

Pertama menurut versi saya. Mulailah berbicara di depan cermin. Sebaiknya saat sendiri. Mungkin sebagian kita merasa aneh jika berbicara sendiri sementara di dekat kita ada orang lain. Entah itu pasangan sendiri, anak, saudara, atau orang tua. Maklum masa pandemi ini, banyak dari kita yang mungkin depresi, stress yang mana itu normal. Khawatir ketika sedang berbicara sendiri nanti disangka stress akut. Sebaiknya dilakukan sendiri saja.

Cara kedua, ini hamper sama. Coba kita manfaatkan teknologi yang ada. Berbicara di depan kamera sekalian merekam dengan berbagai aplikasi yang ada. Bisa dengan smartphone, atau laptop dengan aplikasi video recording yang banyak tersedia secara gratis. Ini salah satu dampak positif pandemi ini. Guru, mau tidak mau, suka tidak suka. Terpaksa harus menggunakan teknologi yang selama ini tidak pernah disentuh. Akhirnya kita jadi belajar dan tahu bahwa alat ini sangat berguna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun