Tapi, cobalah pikir, sudahlah ada tempat pelacuran, dari yang murah sampai yang disebut berkelas. Tapi, tetap saja berita perkosaan seperti menjadi berita wajib bahkan di media media nasional.
Ini tentu pemikiran yang salah; tapi pikirkan lebih baik mana seorang anak SMP yang gatal ingin menyalurkan muncrat libidonya datang ke perempuan pelacur tua, atau merayu rayu pacarnya yang masih SMP juga sehingga hamil karena berdua masih sangat bodoh dan tidak mau pakai kondom. Belum lagi, kalau pacarnya itu kemudian hamil di saat UAS, si perempuan itu akan dilarang ikut UAS, sementara yang laki laki yang menghamili dengan semprilnya bisa ikut UAS. Ini bukan soal mana yang benar atau salah. Ini hanya ilustrasi.
Sudah ada tempat pelacuran, gak kakek-kakek, pejabat, polisi, tentara, calon pastor, ustadz pesantren, supir, mahasiswa, entah siapalah yang berujud laki laki itu bisa saja dengan seenaknya tidak mampu menahan libidonya main perkosa saja. Baik perkosa secara paksa, maupun melalui rayu merayu dengan seribu janji yang boro boro bakal ditepati. Kalau perempuannya hamil paling disuruh aborsi.
Semua sudah paham, bahkan di Amerika Serikat sekali pun, kasus perkosaan akan menjadi ajang benturan fisik dan mental ketika masuk pengadilan. Dan, seperti biasa kaum perempuanlah yang akan ketempuan mengalami segala macam cercaan. Dan, cercaan yang paling kejam adalah dari perempuan sendiri.
Kembali ke Dolly. Tidak ada seorang pun yang ingin jadi pelacur. Ya, apa ada yang bercita cita jadi mucikari? Jadi preman di lokalisasi, buka warung disana. Ya, segala perangkat yang saling mengait.
Menutup lokalisasi itu tentu perbuatan luhur. Dengan catatan bukan karena tidak ada pelacurnya lagi, tetapi yang terpenting adalah semua laki laki telah bertobat. Bukan hanya haram melangkahkan kakinya ke lokalisasi tetapi juga mampu mengelola penisnya untuk tidak kemana mana selain mempergunakannya secara halal.
Jika tidak, lokalisasi akan beralih alih ke ruang ruang sunyi yang jarang dimasuki di Gedung Perwakilan Rakyat, di gedung gedung tempat birokrasi. Ya, tidak perlu disebutkanlah tempat tempat yang memang kita ketahui bisa dipakai buat gituan.
Bukan hanya Risma, tapi setiap bupati, walikota, gubernur, persiapkan dahulu perangkat ketika ingin menerapkan kebijakan penutupan lokalisasi. Lapangan pekerjaan tentunya. Sebelum itu pembekalan ketrampilan. Tetapi yang terpenting adalah pembekalan mental. Sekali lagi bukan hanya pelacurnya, atau para lelakinya untuk bertobat, tetapi yang terpenting adalah para birokrat yang jangan lagi melakukan korupsi.
Korupsi sudah terbukti membuat rantai pelacuran menjadi naik kelas. Kita semua tahu banyak perempuan perempuan cantik lagi sexy tersebut yang menerima gratifikasi pencucian uang dari para birokrat dan pengusaha yang hura hura dengan anggaran APBN, termasuk untuk memuaskan libido mereka.
Ada yang menarik untuk direnungkan soal pelacuran.
Dalam kurun waktu 500 tahun Emporium Romawi tidak pernah mencatatkan satupun kasus perceraian. Emporium Romawi yang atheis, ya, penyembah dewa dewa itu adalah bangsa yang sangat patriachat. Bagi bangsa Romawi kehormatan ada di tangan laki laki. Para laki laki Romawi sangat menghormati ibunya, sehingga istrinya adalah harta yang harus dijaga demi kehormatan keluarga.