Novel "Dikta dan Hukum" ini merupakan karya yang diterbitkan oleh Dhia'an Farah dan sangat menarik untuk di analisis. Sebab novel ini mengangkat isu mengenai ketidakadilan hukum, krisisnya moral dan etika serta identitas diri dan eksplorasi diri.
Berdasarkan penggambaran Dhia'an Farah, Dikta si pemeran utama seringkali tampil sebagai sosok yang dingin, cerdas, dan dominan. Namun, di balik persona tersebut, terdapat sisi lain yang lebih rentan dan penuh keraguan.
   "Dia selalu tahu apa yang harus dilakukan, selalu tenang dalam situasi apapun."
Kutipan di atas menggambarkan bahwa si tokoh utama yaitu Dikta memiliki persona yang cerdas.
Namun di sisi lain di tunjukkan bahwa Dikta juga seringkali raguÂ
  "Dia takut akan kegagalan, takut kehilangan orang-orang yang ia sayangi."
Hal tersebut menunjukkan bahwa Dikta memiliki ketakutan akan kehilangan jika dirinya gagal.
Dalam perjalanan ceritanya, Dikta seringkali berkonflik dengan emosinya, terutama ketika ia menghadapi dilema moral. Ia merindukan hubungan yang lebih dalam, baik dengan teman-temannya maupun dalam cinta, yang menunjukkan sisi lembutnya.
 "Ada kalanya aku ingin berbagi beban ini, namun rasa malu dan ego membuatku terkunci dalam kesunyian."
Novel ini sangat cocok di analisis menggunakan teori psikologi sastra milik Carl Gustav Jung karena mengangkat tema tentang ketidaksadaran diri dan arketipe.
 "Setiap kali aku merasa tertindas oleh sistem, kemarahan itu menyala dalam diriku, membuatku ingin menghancurkan semua yang ada di sekelilingku."
Kutipan tersebut adalah bagian dari diri seseorang yang tidak ingin diakui atau disadari, seperti ketakutan, kelemahan, dan sifat negatif.
Dikta juga dapat dilihat sebagai representasi dari arketipe The Hero yang berusaha mengatasi tantangan dan menemukan tujuan hidupnya.
Pemeran utama menghadapi banyak tantangan yang membawanya ke sisi gelap ini, termasuk kemarahan dan frustrasi ketika sistem hukum yang korup menghalanginya dalam memperjuangkan kebenaran.
Proses individuasi dalam teori Jung mencakup integrasi berbagai aspek dari diri menjadi satu kesatuan utuh. Dalam novel, perjalanan Dikta menuju pemahaman diri dan penerimaan atas berbagai aspek kepribadiannya menggambarkan proses ini. Ia belajar untuk mengakui sisi gelapnya, sekaligus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
 "Aku harus belajar menerima semua bagian diriku, meski ada yang tersembunyi dalam bayang-bayang."
Konflik antara persona dan shadow pada diri Dikta sangat jelas terlihat. Ia berusaha keras mempertahankan citra sempurna yang telah ia bangun, namun di sisi lain, ia juga berjuang dengan sisi gelap yang ingin ia sembunyikan.
 Adapun pemeran utama ini memiliki sifat negatif thinking dan judging membuat ia cenderung rasional dan objektif dalam memandang dunia. Namun, adanya sisi feeling (perasaan) yang terpendam membuatnya rentan terhadap emosi.
Berdasarkan analisis di atas, Dikta kemungkinan besar memiliki tipe psikologis INTJ (Introverted, Intuitive, Thinking, Judging).
Dikta adalah karakter yang kompleks dengan berbagai lapisan kepribadian. Melalui teori Jung, kita dapat memahami lebih dalam tentang perjuangannya untuk menemukan keseimbangan antara persona dan shadow. Konflik internal ini menjadi salah satu daya tarik utama dalam karakternya.
 Dengan menggunakan teori Jung, kita dapat menggali lebih dalam makna di balik karakter-karakter dalam sebuah karya sastra. Semoga analisis ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kepribadian Dikta.
Melalui analisis ini, terlihat bahwa perjalanan kepribadian Dikta menunjukkan pertarungan antara idealisme dan realitas yang kompleks. Dengan memahami kepribadiannya melalui teori Jung, pembaca dapat melihat bagaimana konflik internal Dikta membentuk motivasi dan tindakannya dalam menghadapi ketidakadilan. Novel ini bukan hanya sekadar cerita, namun juga sebuah eksplorasi mendalam tentang identitas dan pencarian makna hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H