Dalam pelaksanaannya, ekowisata tentu memerlukan fasilitas-fasilitas pendukung bagi wisatawan yang mana sudah terstandarisasi. Sebagai sebuah atraksi wisata yang eksotis, masyarakrat pribumi juga akan meningkatkan kepemilikan, pengelola dan juga kerja sama atau staff yang memiliki keahlian dalam pengelolaan ekowisata, situs kebudayaan dan fasilitas pendukung wisatawan lainnya (Zeppel, 2007). Standarisasi dalam fasilitas tersebut akan mendorong kepada pembangunan yang mana bisa merubah lingkungan asli dari destinasi ekowisata.
Adanya kegiatan pariwisata berbasis ekowisata juga hanya bisa dimungkinkan jika penduduk pribumi bersedia untuk terbuka dengan kedatangan wisatawan yang merupakan orang asing. Keterbukaan masyarakat pribumi terhadap wisatawan memungkinkan pula pertukaran budaya yang dapat mendorong keinginan masyarakat pribumi untuk hidup seperti wisatawan, sama halnya dengan wisatawan yang datang untuk mempelajari kehidupan masyarakat pribumi. Pertukaran budaya akhirnya akan melahirkan akulturasi yang mana mengancam autentisitas kebudayaan lokal.
Autentisitas kebudayaan yang lama-kelamaan berkurang dan di sisi lain permintaan akan pariwisata masih terus ada, dalam hal ini ekowisata akan mengarah kepada komersialisasi masyarakat pribumi oleh para pengelola dengan pola top down.Â
Dengan terjadinya hal tersebut, masyarakat pribumi menjadi kehilangan kontrol dalam pengelolaan  sektor pariwisata, yang mana menjadikan mereka tidak dilibatkan dalam hal pengambilan keputusan keberlanjutan pariwisata.Â
Kemunculan industri yang mengambil peran esensial dari masyarakat, yaitu keterlibatan akan membuat ekowisata digunakan sebagai strategi marketing dan kesempatan masyarakat lokal untuk mendapatkan kebermanfaatan menjadi lebih kecil. Kebutuhan akan kebudayaan yang dianggap eksotis tersebut akhirnya akan dikomersialisasikan dengan memaksa masyarakat untuk tetap mempertahankan cara-cara kehidupan mereka di tengah gempuran budaya global.
Usaha konservasi lingkungan dan sosial budaya yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan ekowisata demi mewujudkan sektor pariwisata yang berkelanjutan memanglah penting mengingat bahwa Sustainable Development Goals adalah tujuan bersama masyarakat di seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang berkelanjutan dan lebih baik. Hal ini demi mewujudkan goal SDGs ke-15 yaitu Life on Land. Â
Akan tetapi, usaha konservasi yang memaksa masyarakat pribumi untuk mempertahankan gaya hidup primitif tanpa diikuti oleh pemberian kesempatan yang sama dalam berbagai aspek justru akan bertentangan dengan beberapa goal SDGs lainnya seperti Reduced Equality dan Decent Work and Economic Growth yang menjadi bumerang bagi masyarakat tersebut.Â
Tidak hanya permasalahan antara tujuan SDGs yang saling kontradiktif, lunturnya kebudayaan yang autentik dengan diadakannya penyetaraan akses dan standarisasi hidup bagi masyarakat juga menjadi permasalahan dikarenakan dapat mengancam keberlanjutan sektor pariwisata yang telah dikembangkan dalam masyarakat pribumi.Â
Hal ini membuat pengembangan ekowisata yang ideal bersamaan dengan usaha penyetaraan standar dan kualitas hidup masyarakat apabila kesejahteraan merujuk kepada akses inklusif semua masyarakat (termasuk masyarakat pribumi sebagai host), menjadi paradoks dan masih menjadi tanda tanya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk memungkinkan kedua hal tersebut bisa dilaksanakan secara bedampingan.
REFERENSI
Chi, Nguyen Thi Khanh. (2021). Understanding the effects of eco-label, eco-brand, and social media on green consumption intention in ecotourism destinations. Journal of Cleaner Production. 321. 1-17. Diakses dari https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.128995 diakses pada