Ekowisata saat ini bukanlah sebuah istilah yang asing, terutama bagi para green traveller. Dengan adanya Sustainable Development Goals (SDGs) yang mendorong segala sektor kepada keberlanjutan, pariwisata menjadi salah satu target dari Gerakan tersebut.Â
Salah satunya adalah munculnya tren pariwisata yang disebut dengan istilah ekowisata. Ekowisata merujuk pada kegiatan pariwisata yang bertanggung jawab terhadap konservasi dan kelestarian alam, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal secara ekonomi serta memiliki nilai edukasi bagi wisatawan.Â
Digaungkannya SDGs sangat mempengaruhi pandangan orang-orang akan model pariwisata yang biasa mereka lakukan secara massal, kini ekowisata menjadi salah satu model pariwisata yang meningkat permintaannya karena menerapkan praktik-praktik berbasis pariwisata berkelanjutan.
Ekowisata dapat menawarkan alternatif ekonomi tanpa harus mengorbankan budaya dan tradisi yang ada (Jennings, 2017). Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya kerja sama dengan masyarakat pribumi yang menghuni destinasi ekowisata.Â
Dengan begitu, masyarakat pribumi tetap mendapatkan manfaat dari adanya kegiatan ekowisata tersebut. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menjadi alternatif untuk tetap menjaga kelestarian budaya dan lingkungan karena pariwisata dikembangkan dan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan masyarakat yang tinggal di destinasi tersebut.Â
Selain itu, destinasi wisata dapat menjalin relasi dan kerja sama dengan operator wisata, pemerintah, NGO yang bergerak di bidang konservasi, akademisi dan warga pribumi dengan skala yang lebih luas dalam keterlibatan pelaksanaan pariwisata (Zeppel, 2007).
Tapi apakah praktik ekowisata benar-benar dapat menjamin terwujudnya pariwisata berkelanjutan? Siapa saja yang mendapatkan manfaat dari adanya ekowisata? Apakah masyarakat pribumi benar-benar mendapat manfaat dari adanya ekowisata di daerahnya?Â
Meskipun seringkali dipromosikan sebagai sebuah strategi pengembangan bagi suatu daerah, seperti menawarkan kesempatan pekerjaan, penghasilan dan membangkitkan kebudayaan, ekowisata juga dapat menjadi alasan munculnya kompetisi bagi daerah dan sumber daya serta mengancam praktik-praktik tradisi.
Di bawah label ekowisata, masyarakat pribumi justru dapat mengalami pengusiran dari tanah adatnya dan menghancurkan habitat mereka (Jennings, 2017). Ketika ekowisata dijadikan sebagai sebuah strategi marketing bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan daripada pemberdayaan masyarakat dengan pariwisata berbasis masyarakat, masyarakat pribumi justru tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan pariwisata yang dilakukan.Â
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chi (2021) tentang pengertian dari efek eco-label, eco-brand dan sosial media dalam intensi konsumsi di destinasi ekowisata (yang terkadang tidak berafiliasi sama sekali dengan pelaksanaan ekowisata), menyatakan bahwa efek mediasi dari motivasi konsumen dan moderasi dari kepedulian lingkungan yang tercipta karena label eco berpengaruh terhadap konsumsi produk-produk dengan label tersebut menjadi sebuah tren, terutama karena pengaruh media sosial.
Terlepas dari siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata, kita juga perlu membuka mata dan mepertanyakan, apakah ekowisata yang dilaksanakan secara ideal benar-benar dapat menjadi sebuah pariwisata yang berkelanjutan?Â