Mohon tunggu...
Ashar Saputra
Ashar Saputra Mohon Tunggu... Dosen - Ashar

Tinggal di Jogjakarta, senang menjadi dosen dan mengabdi kepada masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kedewasaan Ilmiah dan Kemampuan Berkomunikasi

23 Juni 2020   21:57 Diperbarui: 23 Juni 2020   22:05 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedewasaan ilmiah (scientific maturity) pada seseorang atau sekelompok manusia bisa diukur dari beberapa aspek, yang mana keseluruhan aspek tersebut mengarahkan kepada kecermatan atau kehati-hatian dalam proses pengambilan informasi dan selanjutnya menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. 

Jackson (2006) menyatakan bahwa ada lima sumber pengetahuan yang berhubungan dengan level kedewasaan ilmiah. Secara berurutan dari yang paling rendah kadar ilmiahnya adalah; tahayul, otoritas, perulangan, rasionalisme, empirisisme, dan metode sains.

Secara sederhana, seseorang yang tidak mampu atau tidak terbiasa melakukan verifikasi terhadap segala informasi yang hadir kepadanya bisa dikatakan belum dewasa secara ilmiah. 

Ciri-ciri seseorang atau masyarakat yang memiliki kedewasaan ilmiah adalah mempunyai pola pikir kritis yang terdiri dari unsur skeptis, yaitu orang yang mempertanyakan validitas, otentikasi, atau kebenaran dari sesuatu dengan maksud mendapatkan kebenaran.

Model Komunikasi Sosial
Perkembangan teknologi informasi menghadirkan pola komunikasi sosial yang berubah. Penyebaran tulisan, suara, dan gambar bisa dilakukan dengan cepat dan langsung menjangkau penerima dalam jumlah yang besar melalui broadcast atau efek pesan berantai. Untuk keperluan peringatan dini (early warning) terhadap suatu kejadian yang beresiko bencana, kemajuan ini bisa sangat bermanfaat. 

Di sisi lain, tanpa kematangan berpikir dan kedewasaan ilmiah, kecepatan penyebaran ungkapan, tulisan, suara, dan gambar bisa menimbulkan persoalan yang rumit. Pada awal tahun 2017, diberitakan 90 rumah rusak di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu yang dipicu oleh ungkapan provokasi di media sosial (Harian Pikiran Rakyat 16 Januari 2017). 

Pada medio 2016, bentrokan antarwarga kampung di Mandailing Natal, Sumatera Utara, pecah akibat adanya konten provokatif di media sosial (Kompas.com 20/9/2016). Bila dicari arsip berita yang lain, maka akan ditemukan lebih banyak konflik horisontal yang terjadi karena adanya persoalan komunikasi sosial.

Seseorang atau masyarakat yang dengan mudah menerima ungkapan, tulisan, suara, atau gambar yang hadir kepadanya dan terburu-buru menganggapnya sebagai kebenaran, ia (mereka) tidak siap untuk berada pada pola komunikasi sosial seperti sekarang ini. Contoh tindakan yang paling sederhana dari kondisi ini adalah mudah meneruskan (forward) apapun yang dianggapnya benar yang masuk ke jaringan media komunikasi sosialnya.

Cara yang bisa dilakukan untuk menjadi lebih dewasa secara ilmiah terkait dengan pola komunikasi sosial adalah dengan mengerem keinginan untuk meneruskan (forward) apapun yang hadir di layar gawainya. Perlu ada gerakan untuk membiasakan "kirim saja tautannya" (just share the link). 

Ungkapan, tulisan, suara, atau gambar yang dituangkan langsung dalam badan pesan semestinya dianggap tidak layak untuk langsung diterima sebagai informasi dan sebuah kebenaran. 

Langkah selanjutnya, penerima pesan bisa memeriksa apakah tautan tersebut cukup kredibel dan layak untuk dijadikan sumber informasi dan pijakan pengambilan keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun