Ternyata Mega lebih cepat mengikat Jeka dengan Jokowi dan ternyata memang lebih baik.
Pengalaman 2004 memberi pelajaran berharga bagi Mega. Dia menggandeng KH. Hasyim Muzadi dari keluarga besar NU ternyata tidak berpengaruh melawan EsBeYe-Jeka dalam merebut suara. Itu fakta.
Karena JeKa adalah orang Golkar yang dipandang sebagai orang yang sangat mumpuni dalam masalah pilpres maupun pilkada, ternyata berpihak kepada "Megawati." Bukan kepada Prabowo.
Tanpa Jeka---Golkar, Jokowi mungkin akan sulit meraih kemenangan. Hal ini dapat disimpulkan dari usaha keras Jokowi sendiri mendekati Aburizal menjelang Pilpres 2014.
Kursi DKI satu dipandang sebagai jaminan pasti untuk meraih kursi RI satu.
Melihat sukses Jokowi meraih hak sebagai RI satu, banyak pihak melihat bahwa kursi DKI satu adalah jaminan yang pasti untuk meraih hak sebagai RI satu.
Sehingga demi Pilpres 2019 Ahok harus dijatuhkan karena orang yang satu ini agaknya tidak bisa didekte siapapun. Termasuk Prabowo. Baginya, semua harus berpijak pada undang-undang. Sehingga wajar pula jika orang Gerindra menganggapnya sebagai orang yang tidak tahu balas budi.
Segala cara boleh dibilang "halal" ditempuh untuk melempar Ahok sebelum masa jabatan berakhir.
Dan Ahok sudah dipastikan rontok oleh para ahli nujum yang menjual kekuasaan dengan menjajakan kemenangan lawannya  dengan menunjukkan angka-angka ramalan untuk mengalahkan "Jokowi" dalam Pilkada jauh-jauh hari sebelum Pilpres.
Ahok sudah pasti jatuh. Tetapi kenapa Jeka menyodorkan Anies untuk mengganti Ahok? Bisa dianggap Jeka kali ini kurang jeli. Anies kurang pantas untuk menggantikan Ahok.
Alasannya. Anies tidak pernah melamar jadi gubernur DKI. Dia "disodorkan" atau diminta menggantikan Ahok yang pasti kalah. Jadi sangat mungkin Anies tidak punya ambisi atau konsep untuk jadi seorang gubernur yang benar-benar gubernur.