REVOLUSI SPIRITUALÂ
Pelayanan berbeda di fasilitas publik
Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan belum menerima salinan lengkap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penulisan penghayat kepercayaan di kolom agama di KTP. Ia  akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait.
Tentu saja maksudnya berkoordinasi dengan Kemdiknas tentang data dan nama-nama "kelompok" yang masuk sebagai penganut penghayat kepercayaan yang dimaksud. Tjahjo belum memutuskan apakah akan menuliskan "penganut kepercayaan" atau "nama aliran kepercayaan" pada kolom agama di e-KTP.
Sebelumnya diberitakan, bahwa MK mengabulkan gugatan para warga penghayat kepercayaan. karena para penghayat kepercayaan memperoleh perlakuan berbeda dengan para penganut agama yang diakui di Indonesia. Ketua MK Arief Hidayat menganggap gugatan tersebut beralasan menurut hukum. Dia juga berpendapat dan mengakui, akibat adanya perbedaan antara penganut agama dan penghayat kepercayaan di KTP membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.
"Mendagri" harus hati-hati.
Menanggapi keputusan MK tersebut hendaknya "Mendagri" berhati-hati. Negara harus tahu dengan pasti apa yang disebut agama dan apa yang disebut penghayat kepercayaan. Paling tidak negara sudah mempunyai pengertian sendiri yang baku tentang agama dan kepercayaan yang sangat mungkin berbeda dengan pengertian dari seluruh penganut agama maupun penganut kepercayaan.
Misalnya, menurut penulis:
Khusus di negeri yang berdasar Pancasila. Yang disebut agama adalah tuntunan hidup pribadi berdasar kebenaran ajaran "kitab suci," untuk hidup secara benar---saling memuliakan, saling menghormati, saling menghargai dan saling menjaga dan saling melindungi tanpa SARA dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Dan mutlak menjunjung tinggi aturan yang berlaku dalam negara.
Demikian pula halnya dengan pengertian bagi yang disebut sebagai para "penganut kepercayaan" di negeri Pancasila.
Para "penganut kepercayaan" adalah orang-orang yang mengaku tidak mengamalkan ajaran dan ritual-ritual keagamaan yang dianut pemeluk agama yang ada di negeri ini. Mereka dianggap mengamalkan ajaran keluhuran budi yang diwariskan para leluhur untuk hidup secara benar dalam berketuhanan, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara tanpa SARA. Dan mutlak menjunjung tinggi aturan yang berlaku dalam negara. Â
Tentu saja pengertian itu juga belum tentu sama dengan pendapat para tokoh semua agama dan juga tokoh semua aliran kepercayaan di negeri ini.
Pengertian (batasan) tersebut di atas hanya sekadar contoh untuk membedakan apa yang disebut pemeluk agama dan yag disebut penganut "penghayat kepercayaan" di negeri ini.
Penggunaan istilah "penganut pengahayatan ...,"
Untuk penggunaan istilah "penganut pengahayatan ...," atau "penganut kepercayaan ...," atau "pengamal penghayat kepercayaan ..." atau "penganut penghayat kepergayaan kepada Tuhan yang Maha Esa" pasti akan sangat sulit. Kalau tidak dicantumkan pula sebutan atau nama yang dihayati atau pun dipercaya.
Demikian pula jika yang dituliskan adalah "nama suatu aliran kepercayaan." Sebab suatu aliran kepercayaan di Indonesia pada dasarnya bersumber dari ajaran suatu agama---Islam. Sehingga tidak mengherankan jika aliran-aliran tersebut seringkali dipimpin atau bersumber dari tuntunan orang-orang yang mungkin disebut sebagai kaum "sufi" atau kaum tarikot.
Kelompok aliran kebingungan.
Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa hadirnya aliran-aliran dalam pemehaman agama sangat bisa diikuti juga lahirnya berbagai aliran yang macam-macam bahkan ada yang disebut sebagai "aliran kanuragan, aliran kebatinan bahkan ada yang disebut aliran sesat.
 Dan di Indonesia sangat mudah suatu aliran "disesatkan" oleh kelompok yang merasa paling benar dalam soal agama. Dan mudah pula suatu sindikat membuat suatu aliran kerohanian yang kemudian ternyata layak disebut sebagai aliran kejahatan.
Maaf. Harus diakui bahwa kelompok-kelompok aliran itu pun mungkin sangat kebingungan menentukan posisi dirinya dalam bernegara. Mereka secara pasti dan nyata telah menempatkan diri bukan sebagai kelompok beragama tetapi minta diakui keberadaannya sama seperti umat beragama. Maka mereka minta diakui keberadaanya dalam kolom agama di katepe.
Atheis di negeri Pancasila.
Apakah di negara Pancasila boleh ada orang yang tidak beragama?Â
Menurut pendapat pribadi penulis tentu saja boleh, siapa yang melarang? Negara tidak berhak memaksa seseorang harus memeluk suatu agama. Agama adalah hak pribadi untuk memeluknya.
Orang yang tidak faham agama wajar saja jika tidak memeluk sutu agama. Bahkan mungkin mereka yang sangat faham agama pun tidak dilarang untuk tidak memeluk suatu agama yang sangat difahaminya.
Dampak Sosial. Putusan MK
Nah kembali ke masalah menuliskan nama agama atau "nama aliran" di kolom agama. Â Penulis melihat kemungkinan akan ada dampak sosial yang tidak diinginkan dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Penulis sampaikan masalah ini karena penulis pernah mendengar ada warga masyarakat yang sangat menolak menguburkan seorang penganut aliran kepercayaan yang meninggal.
Untunglah seorang tokoh masyarakat yang bijaksana berhasil memberi pengertian kepada masyarakat bahwa umat beragama berkewajiban menguburkan jazad siapapun yang meninggal. Jika golongan orang yang meninggal itu tidak ada di sekitarya. Umat beragama yang ada wajib menguburnya dengan baik-baik menurut adat dan ajaran agama yang dianut.
Menguburkan jasad mereka yang sudah meninggal itu berbuat kebaikan karena menyempurnakan kematian sesamanya dalam kehidupan. Jika tidak justru umat beragama---agama apa pun, telah berbuat nista dengan agamanya sendiri.
Konsekuensi putusan MK
Konsekuensi putusan MK tentang penulisan penghayat kepercayaan di kolom agama di katepe bisa memungkinkan bahwa siapa pun boleh menuliskan secara benar tuntunan hidup pribadinya.
Di kolom agama seseorang boleh menulis sebenarnya tentang tuntunan hidup yang dianut. Boleh ateis, tidak beragama, dan tentu saja boleh menulis "bertuhan sesuai Pancasila."
Barangkali bisa diusulkan bagi yang tidak mau menyebut nama agamanya bisa ditawarkan untuk memakai istilah "pengamal Ketuhanan dalam Pancasila."
Bagi kaum "pengamal Ketuhanan dalam Pancasila." Barangkali jika mati bebas dikuburkan dengan tata cara agama apa saja terserah yang mengubur. Tergantung di lingkungan mana yag bersangkutan meninggal.
Penganut kepercayaan tidak bertuhan?
Apakah mereka yang tergolong penganut kepercayaan tidak mengakui keberadaan Tuhan? Mungkin mereka pun akan mengatakan bukan penganut kepercayaan. Karena mereka juga tidak tahu kenapa harus percaya kepada Tuhan? Sebab keberadaan Tuhan bukan untuk dipercaya, melainkan harus diterima dan diakui KeberadaanNYA.
Demikian pula halnya mereka yang tergolong orang-orang yang menganut suatu keyakinan tertentu? Mungkin mereka pun akam mengatakan bukan penganut keyakinan. Karena mereka juga tidak tahu kenapa harus meyakini KeberadaanNYA?
Bagi mereka. Keberadaan Tuhan tidak perlu dipercaya dan diyakini ada. Tidak dipercaya ataupun tidak diyakini ada oleh umatNYA, Keberadaan Tuhan tidak bisa dibantah Kekal adaNYA.
Belum faham bernegara yang berdasar Pancasila.
Bermacam-macam pandangan dan aliran campur aduk dalam kelompok ini sehingga mereka mungkin sulit menempatkan diri dalam bernegara.
Mereka bukan orang yang atheis. Tetapi jelas bukan orang yang mengamalkan ritual keagamaan. Mungkin mereka yang bikin usulan ke MK belum faham bernegara yang berdasar Pancasila. Kalau mereka faham tentang Ketuhanan yang Maha Esa Pancasila sangat tepat kalau usulnya ditujukan kepada Depag RI.
Depag RI barangkali akan minta kejelasan secara kongkrit tentang agama dan ketuhanan yang difahami para penganut kepercayaan dan penghayatan.
"Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila"---P4, menyesatkan.
Dan harus diingat bahwa "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila"---P4, karya Pak Harto yang masuk dalam UUD'45 hasil amandemen adalah menyesatkan. Mana ada untuk mengamalkan Pancasila harus berpedoman pada "penghayatan dan kepercayaan?" Mengamalkan Pancasila mutlak harus berpedoman dengan menghayati pada pidato Bung Karno 1 Juni, 1945.
Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini. Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H