Sepenggal sejarah yang merekam kejadian Pengkhianatan G30S/PKI yang keji itu bukan pada pemutaran film tersebut, melainkan pada "seluruh" jiwa Bangsa Indonesia yang masih berusaha bisa menerimanya dengan keikhlasan jiwa. "Bangsa Indonesia" seperti menuntut kebenaran sejarah yang tidak pernah menutupi kebenaran itu sendiri.
Film Pengkhianatan G30S/PKI, adalah sebuah karya seni yang berkualitas. Namun isinya dipandang sebagai sangat kontroversial. Tentang kekejaman atau kebiadaban sekelompok manusia? Tentang kebingungan prajurit yang kehilangan jenderal-jenderalnya? Tentang ketidak berdayaan negara mencegah pengkhianatan?
Jangan lupa. Bahwa masih ada juga yang tetap menangisi sejarah itu. Kenapa sejarah harus dibuat demikian keji oleh sang dalang pengkhianatan tersebut. Untuk siapa pengkhianatan dilakukan? Untuk menghilangkan PKI yang kudeta atau untuk menyingkirkan Bung Karno yang dimusuhi nekolim?
Kenapa hanya Pak Harto yang "bertindak?" Kenapa panglima-panglima yang lain tidak? Apa bingung? Apa karena Bung Karno sendiri tersandera oleh sikapnya yang teguh sampai mati tidak menghendaki ada perang saudara?
Lupakan masa lalu?
Memang banyak tokoh bijak yang berkata: "Buat apa kita tetap mengungkit kejadian keji itu. Toh anak-anak orang PKI sudah bisa jadi anggota DPR, jadi pejabat negara? Sudahlah sekarang semua sudah baik-baik saja. Lebih baik kita menatap ke masa depan saja."
Terlalu gampang seruan itu. Apa yang bisa ditatap pada masa depan? Masa depan pun adanya pada hari ini. Dan pada hari ini masih ada sepenggal sejarah masa silam yang menjerat sangat sakit jiwa Bangsa Indonesia.
Maka mutlak jeratan itu bukan harus dilepas atau dibiarkan. Bangsa Indonesia harus menyempurnakan jeratan yang menyakitkan mejadi ikatan yang lebih menyatukan Bangsa Indonesia dalam kebhinnekaan.
Pelurusan sejarah alami
Film Pengkhianatan G30S/PKI buatan Arifin C Noor atas permintaan pemerintahan Pak Harto masih ada pada hari ini.
Film Pengkhianatan G30S/PKI buatan Arifin C Noor. Sudah tentu memuaskan mereka yang mengagumi Pak Harto, hendaknya dilengkapi dengan karya-karya sejenis versi Sukmawati Soekarnoputri, versi keluarga Omardhani, versi ahli sejarah kalau perlu versi NU dan versi Muhammadiah atau lainnya.