Namun suatu hal yang wajar jika dalam sebuah "karya pesanan" banyak hal penting yang sengaja tidak disentuh agar tidak mengganggu pesan yang akan disampaikan. Dan wajar pula jika banyak hal tambahan yang ditambahkan untuk lebih mendramatisir suasana.
Masa lalu tidak pernah hilang.
Saat kita "membaca" sejarah masa lalu. Ternyata masa lalu tersebut tidak pernah hilang. Artinya. Masa lalu itu tetap ada pada hari ini.Â
Entah pada pagi, siang, sore atau malam hari, saat sepenggal sejarah masa lalu itu "dipersoalkan" kembali dalam pembicaraan atau diskusi. Demikianlah keberadaannya yang disebut dengan masa-masa lalu pada setiap hari di hari-hari berikutnya yang terus berlanjut abadi.
Maka wajar saja jika hari ini masih ada mereka yang merasa terluka dan teraniaya jiwanya di negerinya sendiri gara-gara ada peristiwa G30S/PKI.
Sejak puluhan tahun silam mereka sudah merasa teraniaya, sudah menangis mengemis minta dimengerti, dikasihani, dihargai dan diakui negara bahwa diri mereka tidak bersalah dalam peristiwa G30S/PKI, peristiwa keji yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Karena dinyatakan terlibat oleh "negara."
Sampai hari ini. Ratapan mereka seolah tak pernah berhenti walau dadanya selalu sesak oleh nafas kesedihan dan kemarahan seperti menggugat kepada realita yang seperti terus memuja dan menyanyikan kebencian, kemunafikan, kelicikan yang hanya harus dimiliki dan diperlihatkan oleh mereka yang merasa paling berhak mengungkapkannya.
Dan suara mereka---yang dikorbankan sebagai terlibat G30S/PKI, yang hanya bernada minta diperlakukan adil oleh bangsanya selalu disambut dengan makian, hinaan dan cemohan oleh mereka yang merasa mutlak berada di kursi kebenaran bernegara.
Setiap kalimat yang diucapkan segera terdiam membungkam karena teriak mereka yang merasa suci dengan mengepalkan tangan menepuk dada sebagai tokoh yang paling anti PKI.
Â
Misteri G30S dan kesaktian Pancasila