Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyalahgunaan Kekuasaan Lebih Berbahaya dari Kejahatan Korupsi, Narkoba dan Terorisme?

25 September 2016   18:10 Diperbarui: 25 September 2016   18:27 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau narapidana memunyai hak menerima remisi. Semua narapidana tanpa diskriminasi sebaiknya juga berhak menerima remisi.

Semua narapidana divonis oleh hakim dengan adil dan beradab berdasar kitab undang-undang hukum pidana. Jadi sebaiknya tidak perlu ada hukuman yang berat dan hukuman yang ringan. Yang ada hukuman yang minimal dan maksimal dalam kontek waktu menjalani hukuman tentunya.

Bahwa kemudian ada terdakwa yang tidak dihukum sama sekali bukan berarti kesalahannya dianggap kecil maka dimaafkan. Tetapi memang yang bersangkutan benar-benar tidak harus dihukum menurut hakim. Karena dakwaan jaksa penuntut kepada terdakwa tidak terbukti.

Hukuman mati bagi bandar narkoba sama sekali bukan hukuman yang berat. Justru hukuman tersebut membebaskan terpidana mati dari penderitaan hidup hidup sebagai orang terhukum.

Hukuman mati itu pasti harus benar dan adil karena yang dihukum membahayakan kehidupan suatu bangsa.

Hukuman mati bagi teroris apakah adil? Belum tentu.

Sebab yang mau menjadi teroris umumnya hanya orang bodoh yang bisa disesatkan dengan faham yang menyesatkan kebenaran suatu ajaran agama. Anggap saja para teroris adalah orang yang tidak waras  atau “gila”.

Demikianlah kesepakatan yang mungkin harus dicapai oleh semua penegak—ahli,  hukum. Seorang teroris harus diperlakukan sebagai orang bodoh—gila, yang berbahaya bagi kehidupan siapa saja.

Sehingga dalam mengadili kasus terorisme, tidak perlu ada perdebatan sengit antara jaksa penuntut dan penasihat hukum. Memperdebatkan barang bukti dan kesaksian di persidangan, yang sangat bisa “mengecoh” persepsi umum tentang terorisme.

Dalam perkara terorisme. Yang ada hanya perdebatan sengit antara jaksa penuntut dan penasihat hukum, untuk membantu hakim bisa memvonis secara berperikemanusiaan yang adil dan beradab, terhadap mereka yang bodoh dan bertambah bodoh dengan pemahaman ajaran fahamnya,  maka mau menjadi anggota kelompok teroris di negeri ini.

Bahwa seorang teroris bisa mati ditembak oleh densus delapan delapan. Bisa saja karena teroris itu umumnya bersenjata api, melawan sampai mati dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap polisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun