Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Negeri Bisu

20 Februari 2018   20:33 Diperbarui: 20 Februari 2018   20:46 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kabarmu kekasih? Bagaimana dengan hari mu tadi? Menyenangkankan, melelahkan atau menyedihkan? Kalaupun harimu menyedihkan, tak masalah, tak usah khawatir. Karena kadang memang Tuhan sering menyapa hambanya dengan cara seperti itu. Sebelum kau terlelap tidur mari aku ceritakan padamu kisah tentang Negeri Bisu.

Para penduduk di suatu negeri mulai keheranan karena suara mereka tiba-tiba menghilang alias menjadi bisu. Mereka beranggapan itu adalah kutukan dari para dewa karena perbuatan mereka yang sering membuat kebisingan di mana-mana dan sering membuat onar. Fenomena ini sudah terjadi selama lima tahun lamanya.

Tak ada penjelasan ilmiah tentang fenomena ini. Para peneliti dari seluruh penjuru dunia silih berganti datang, namun tetap tak menemukan apa penyebab terjadinya wabah atau fenomena bisu yang menyerang penduduk secara mendadak tersebut.

Suasana menjadi sedikit membosankan, tak ada lagi suara penyanyi yang merdu, tak ada lagi suara lantunan ayat-ayat suci, tak ada lagi barisan-barisan puisi, syair dan sajak indah yang dibacakan oleh para penyair.

Tapi di balik wabah kebisuan yang menyerang penduduk, malah disyukuri oleh salah satu pemuka adat di negeri tersebut. Mengapa malah bersyukur, karena pemuka adat tersebut sudah jengah atas segala kebisingan yang dulu sempat terjadi di negeri tersebut, kebebasan berpendapat yang sudah kebablasan, saling menghina, saling fitnah, saling tuduh dan saling menyalahkan satu dengan yang lain.

Mereka hanya sibuk berbicara dan berkomentar namun tidak ada yang mau untuk saling mendengarkan. Karena dengan mereka berbicara dan berkomentar mereka merasa bisa mengaktuliasasikan diri dan yang paling utama dengan berbicara dan berkomentar mereka akan mendapat pengakuan dan popularitas.

Dengan hadirnya wadah kebisuan, maka akan memberi waktu bagi para penduduk untuk bisa hening sejenak, saling merasakan dan saling mendengarkan, terutama mendengarkan isi lubuk hati mereka sendiri.

Namun tiba-tiba suara para penduduk di negeri tersebut muncul kembali. Para penduduk mulai bisa mengeluarkan suara, suara keriuhan bocah disore hari mulai terdengar di kampung-kampung, suara lantunan ayat suci dari surau kembali terdengar, suara lantunan lagu juga mulai terdengar. Suasana kembali riuh dan ramai.

Tak ketinggalan suara orang berorasi alias kampanye politik kembali terdengar setelah lima tahun vakum, suara janji-janji politik kembali terdengar, suara janji indah yang menggambarkan masa depan gemilang kembali muncul. Ya, rupanya tahun politik telah tiba di negeri tersebut, waktunya untuk pemilu yang diadakan tiap lima tahunan.

Suasana kembali ramai, komentar sana-sini mulai bermunculan, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling fitnah pun tak ketinggalan untuk muncul. Para politisi peserta pemilu kini sibuk meyakinkan penduduk untuk memilihnya, meminta para penduduk untuk memberikan suaranya kepada para politisi peserta pemilu pada hari pemungutan suara.

Hari Pemilu pun tiba, hari pemungutan suara dirayakan secara gegap gembita oleh para penduduk. Para penduduk pun memberikan suara kepada partai dan politisi pilihan mereka. Para penduduk tampak gembira dan yakin atas pilihannya sendiri. Angka partisipasi politik mencapai 100%. Luar biasa.

Hari pemungutan suara pun usai, para politisi yang berhak duduk di kursi dewan perwakilan dan yang berhak menjadi pemimpin negeri pun telah terpilih dan dilantik. Namun, tiba-tiba suara penduduk di negeri tersebut hilang kembali, penduduk kembali menjadi bisu.

Para penduduk kini tak bisa berbicara, berkomentar lagi, bahkan kini mereka tak dapat mengkritik politisi pilihan mereka lagi. Sekuat tenaga apapun penduduk keluarkan untuk mengkritik para politisi pilihan mereka tak berguna lagi. Suara penduduk telah hilang, lenyap dan terbungkam.

Misteri penyebab kebisuan yang menjangkiti negeri tersebut terpecahkan sudah. Penyebabnya adalah Pemilu alias pemungutan suara.

Hahaha, demikian ceritaku padamu kekasih, mungkin benar kata ayah Pidi Baiq si penulis novel Dilan dan Milea itu. Bahwa, "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan jadi bisu karena diambil suaranya waktu pemilu".

Selamat Tidur.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun