Mohon tunggu...
an anta
an anta Mohon Tunggu... Konsultan - penikmat baca tulis

pemeharti-angka https://www.kompasiana.com/ashadiq

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

"Garbage in, Garbage Quick Count" (Bagian 2)

3 Juli 2018   10:08 Diperbarui: 3 Juli 2018   12:24 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Lie Statistics

Do NOT believe everything you are shown just because it is 'Science'  and 'Data'. Try to figure out if the source has some ulterior motive to manipulate your opinion. Kalimat tersebut seperti sebuah nasihat dari Darrell Huff dan Edward Tufte ( How to Lie, Cheat, Manipulate and Mislead using Statistics and Graphical Display ). Sesuatu yang relevant dengan hasil pengukuran Quick Count pada Pilkada Serentak 2018 di tanah air. 

Era millenial ini data (informasi) sudah menjadi life style masyakat luas. Sebagai sebuah referensi (tabulasi Quick Count misalnya) publik artinya masyarakat tidak hanya bisa 'mem-baca' (being able to read) tapi juga dapat 'memahami' (being able to understand) hasil Quick Count yang dipublikasikan sebagai massive amount of information.

Sejak diawal pengembangan ilmu komputasi dikenal istilah 'garbage in, garbage out (GIGO)', bahkan hingga kini isu non-sense input data (dan juga termasuk prosedur-nya) akan menghasilkan non-sense output yaitu garbage (sampah). Bahkan komputer tercanggih saat ini masih dapat menghasilkan data-error dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Bilamana Quick Count dihasilkan dari data yang 'garbage in' maka apa yang didiskusikan di TV Nasional adalah sebagai penjelasan yang 'garbage out'. Non-sense atau bahkan menyesatkan.

Pada bagian pertama tulisan ini yaitu Latar Belakang dan Sejarah Quick Count di Indonesia yang ternyata tidak sempat dijelaskan di Talkshow TV Nasional. Kalaupun ada dalam TVnews itu dalam porsi yang minimal hanya dalam program serba-serbi yang dirasakan cukup dibawah lima menit. Sementara phase 'garbage in' ini jauh sebelum acara debat di studio TV. Bukan pula di ruang data centre di kantor Lembaga Survey atau kantor Litbang TV. 

Perhatian hendaknya ditujukan pada lokasi TPS ( yang bisa berlokasi diluar signal telpon genggam ). Itulah lokasi para Surveyor yang bertugas sebagai 'Pabrik Data (primer)', petugas yang bertanggung jawab mengumpulkan data.

Beberapa hal di bawah ini, tidak pernah menjadi focus pembicaran di program acara TV Nasional, dari bagian kegiatan pengumpulan data di unit sampling (TPS). Ini bukan bagian dari rumus sampling error tapi menjadi nafas penting dari teori sampling yang non-matematika.

Memastikan bahwa PERLAKUAN SAMA kepada seluruh UNIT SAMPLE
Diperlukan threatment (perlakuan) yang sama atau seragam dari Petugas Sampling (Surveyor) kepada seluruh Unit Sampling (Orang atau TPS). Jika unit Sampling ada 1200 maka perlu diyakinkan bahwa 1200 (Orang atau TPS) harus ditemui, disapa hingga ditanya hal YANG SAMA oleh Ratusan Surveyor. Artinya Ratusan Surveyor ini mempunyai SOP yang SAMA walaupun saat interview menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa Tengah, Bahasa Jawa Timuran atau Bahasa Sunda. 

Ini bukan sekedar Training kepada Surveyor saja tapi juga menyangkut bagaimana mengumpulkan sekian banyak orang (Surveyor) dalam satu ruang di waktu yang sama agar menyakinkan apa yang dilatih itu SAMA dan SERAGAM serta me-minimalisir potensi bias karena beberapa faktor (waktu atau Instruktur).

Memastikan bahwa Seluruh Surveyor ON-TIME
Ratusan Petugas Surveyor itu berbudaya ON TIME. Dia harus tepat waktu hadir di Lokasi, bukti kehadiran dalam bentuk dokumen akan mempengaruhi validitas data yang dihasilkan. Dia harus tertib melakukan wawancara kepada responden (unit sample) di waktu yang telah ditentukan, sesuai waktu yang ditetapkan dalam teknik sampling.  Evidance bahwa hasil wawancara dilakukan, misalnya pada jam 9 pagi bukan jam 10, akan meningkatkan kualitas data. Serta 'mengirim' data (ke data center) sesuai waktu yang telah ditentukan, ketidak tertiban akan mempengaruhi tingkat bias data.

Memastikan Identitas UNIT SAMPLE
Bilamana Petugas Surveyor tidak memastikan ada TINTA di jari tangan responden maka ada kemungkinan dia melakukan interview pada pihak yang salah. Bilamana dia menggunakan dokumen TPS (form C1) sebagai data maka Surveyor harus memastikan validitas dokumen tersebut (misalnya ada tanda-tangan orang yang berkepentingan di lembar yang sama).

Ujiannya adalah bukan pada : apakah kantor data center menerima (100%) data dari semua TPS yang menjadi  Unit Sampel. Tapi, apakah kantor (data centre) sudah mem-validasi dan menjamin tiga hal di atas berlaku disetiap data (sebanyak 1200 data). Seharusnya hal ini sudah approved sebelum data tabulasi dihadirkan di layar kaca masyarakat luas.

Mari kita berhitung, misalkan dibutuhkan sekitar 3-menit untuk validasi 3-hal di atas untuk setiap data. Total dibutuhkan 1200x3 = 3600-menit atau 60-manhours. Dengan kata lain diperlukan 60-Petugas (dengan capability sebagai Data Validation) untuk menyelesaikan dalam satu jam pekerjaan yang bersifat non-matematika ini.

Harapannya Lembaga Survey punya kantor atau ruang yang dapat menampung (minimal) enam puluh orang yang dapat bekerja dengan layak. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun