Banyak kejanggalan yang terjadi dalam penanganan kasus dugaan kekerasan seksual anak yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Seperti proses reka ulang yang dilakukan Polda Metro Jaya dalam mengungkap kasus tuduhan pelecehan seksual ini. Maka itu seharusnya tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian di persidangan.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta Irwanto mengatakan, dirinya sudah melihat video reka ulang kasus JIS dan banyak kejanggalan yang terjadi. MAK yang ditemani orangtua pelapor menjalani reka ulang yang diarahkan polisi. Ketika reka ulang dilakukan, MAK disuruh jongkok yang kadang-kadang dia protes, tetapi tetap disuruh jongkok lalu kemudian difoto.
“Bukti seperti itu kok bisa dipakai di pengadilan? Padahal bukti-bukti yang diarahkan itu tidak sah digunakan sebagai pembuktian. Kalau reka ulang demikian muncul pertanyaan apa benar terjadi sesuatu?” tanya Irwanto, Jumat (12/6/2015).
Irwanto juga menyayangkan proses reka ulang tidak segera dilakukan setelah ada peristiwa dugaan kekerasan seksual itu. Dengan kecenderungan reka ulang yang diarahkan, maka anak perlahan-lahan akan menyesuaikan dengan arahan tersebut, meskipun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Sebab, kata Irwanto, anak kecil memiliki kecenderungan sangat mudah dipengaruhi atau diarahkan. Apalagi bila dalam mengarahkan juga dengan tekanan atau paksaan.
“Yang tidak masuk akal, bukti seperti itu justru dipakai untuk memvonis seseorang di pengadilan. Inilah yang menjadikan hukum kita semakin karut-marut,” ujar dia.
Kejanggalan lain dalam reka ulang itu, lanjut Irwanto, adalah fakta MAK tidak menunjukkan trauma. Dalam laporannya, MAK disebutkan mengalami kekerasan seksualberkali-kali sejak Desember 2013 sampai Maret 2014. Di mana seharusnya anak tersebut mengalami trauma mendalam dan ketakutan, apabila harus berada di tempat dia mengalami kekerasan seksual.
“MAK tenang-tenang saja, tertawa, ceria seperti tidak terjadi apa-apa, dia mengikuti reka ulang sambil bermain. Mustahil seorang anak yang mengalami kekerasan seksual berkali-kali tetap nyaman di lokasi dia diduga mengalami kekerasan itu,” ujar Irwanto.
Pertimbangan Hakim
Salah satu Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan, pembuktian dalam suatu persidangan harus menjadi prioritas pertimbangan ketua majelis hakim dalam mengambil suatu putusan. Porsi keyakinan hakim terhadap suatu kasus hanya sekitar 30%, sementara sisanya harus tetap berdasarkan pembuktian selama persidangan.
“Jika masih ada keraguan, ketua majelis hakim bisa menambah jumlah anggota menjadi 5, sehingga keputusan pertimbangan lebih banyak,” ujar Gayus.