Mohon tunggu...
ashabul kahfi
ashabul kahfi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

time is love

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Psikolog Harus Hati-hati Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak

9 Maret 2015   16:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:56 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris, ditengah gencarnya program perlindungan anak yang digaungkan pemerintah, justru laporan kekerasan seksual pada anak semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data KPAI, pada Januari hingga Mei 2014, pengaduan kekerasan seksual terhadap anak mencapai lebih dari 400 aduan. Padahal sepanjang 2013 hanya ada 502 aduan anak berhadapan dengan hukum (ABH) untuk kasus kekerasan. Spirit pemberantasan kasus kekerasan seksual pada anak menguat, bahkan ketika itu Presiden SBY mengatakan bahwa menghapuskan kekerasan seksual pada anak bukan lagi program pemerintah, tapi sudah harus menjadi gerakan nasional. Semangat ini adalah indikasi munculnya gerakan perlawanan terhadap para penjahat seksual yang berkeliaran di Indonesia. Siapa yang rela bila hampir setiap hari, korban anak-anak berjatuhan dan masa depannya suram. Bahkan, menurut data sebagian besar pelaku kekerasan seksual itu adalah orang-orang terdekat korban. Inilah ironisnya, keluarga yang seharusnya melindungi justru menjadi predator bagi anak dan keluarganya. Karena itu, penting bagi pemerintah memberikan perlindungan payung hukum maksimal untuk mencegah dampak yang lebih luas lagi. Namun juga jangan lupa, hukum Indonesia juga menganut asas “Presumpction of Innocent” atau asas praduga tak bersalah. Semua dugaan dan tuduhan tetap harus dapat dibuktikan secara hukum, agar tidak ada orang yang tak bersalah malah terkena hukuman akibat fitnah atau rekayasa kasus. Psikolog forensik sebagai pembuktian kasus asusila pada anak. Metode-metode pembuktian kasus kekerasan seksual sesungguhnya sangat banyak, disamping visum medis forensik. Salah satu metode yang sudah digunakan secara internasional adalah psikologi forensik. Psikologi Forensik didefinisikan sebagai praktek profesional dari psikolog dalam bidang psikologi klinis, psikologi konseling, neuropsikologi, dan psikologi sekolah, dimana mereka berperan dan merepresentasikan diri secara rutin sebagai ahli, dalam aktivitas utama yang bertujuan untuk memberikan keahlian psikologis professional pada system peradilan. Di USA Psikolog yang ingin berkarir dibidang Forensik harus mempunyai lisensi dan gelar Doctoral (S3, Ph.D atau Psy.D.) di bidang klinis dan konseling, yang sudah mendapat rekomendasi dan akreditasi APA. Sekitar 85% Psikolog yang mengambil bekerja di bidang Forensik adalah Psikolog Klinis. Menurut Ketua Bidang Profesi di Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia, A. Kasandra Putranto, M.Si, Psikolog, pembuktian kekerasan seksual harus dilakukan secara hati-hati. “Sebab metode psikologi klinis dan psikologi forensik sangat berbeda. Maka psikolog yang menangani kasus ini haruslah ahli dibidang psikologi forensik,” ujar Kassandra. Dalam metode psikologi forensik, ada profilling tersangka hingga otopsi psikologis bahkan sekalipun korbannya meninggal dunia. “Ada juga assessment yang dilakukan tanpa pertanyaan yang mengarahkan anak, dan itu hanya boleh dilakukan oleh ahli psikologi forensik,” tambah Kassandra. Saat menyinggung masalah “False Memory Syndrome” pada anak korban asusila, Kassandra menegaskan hal itu bukan hanya terjadi pada anak tapi juga pada orang dewasa. “Karena itu, dugaan adanya false memory ini juga mesti bisa dibuktikan terkait hukum,” tegasnya. Kassandra mengingatkan, agar jangan sampai semangat memberantas kekerasan seksual pada anak menjadi salah kaprah. Sebab dengan penanganan korban melalui metode yang salah, bisa memunculkan kesalahan informasi palsu akibat “Ingatan Palsu” tadi. “Pada para psikolog, jangan sembarangan menerima kasus yang bukan bidangnya. Semua punya konsekuensi hukum, bila merasa tidak berkompeten maka jangan diterima,” ujar Kassandra. Sedikit menengok di kasus JIS, kita patut bertanya apakah metode psikologi forensik sudah digunakan dalam menggali informasi dari anak yang menjadi korbannya. Sebab banyak informasi beredar, bahwa saat diminta keterangan korban ditanya dengan pertanyaan dan metode yang sama saat menginterogasi orang dewasa. Sayangnya, masyarakat sulit mendapatkan informasi jelas soal kasus JIS ini karena kabarnya pengadilan menutup akses informasi ke masyarakat. Namun jika memang metode ini belum digunakan, tentu hakim lebih bijaksana dalam memutuskan masalah tuduhan tersebut. Kita berharap, majelis hakim akan memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan melihat fakta-fakta sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun