Mohon tunggu...
Asgaf Saggaf DC
Asgaf Saggaf DC Mohon Tunggu... -

Aku_Meletakkan Imajinasi Di Atas Karya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Ruang Khatulistiwa

14 April 2014   14:18 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Butiran titik air mengembun oleh percikan hujan yang menganak sungaipada permukaan jendela kaca. Lalu, jejak lintasannya bak cacing bergerak turun hampiri bingkai kaki jendela. Yess. Melalui bingkai segi empat yang nempel pada dinding itu, pandangan tembus ke luar. Pemandangan luar kini nampak tipis membayang oleh derasnya hujan di pagi hari, tapi tetap saja rasa penasaran datang menggoda untuk lempar pandang ke luar rumah. Tak sadari ujung hidung menyentuh kaca jendela hingga meninggalkan sidik buram, buram terlihat bukan karena bekas ujung hidung saja, jarak wajah dekat dengan kaca, suhu udara yang dingin dan hembusan nafas layang mendarat ke kaca jendela juga picu munculnya kabut buram.

Berada depan jendela, riuh ramai rintik hujan masih memonopoli lubang telinga dan juga makin menebalkan lapisan kaca dari uap buram yang ngelembab. Oh iyah, tiba-tiba saja ada yang terlintas dalam pikir, yaitu dengan jemari membikin gambar emotikon senyum mentari di atas permukaan kaca yang keringatan. Entah kenapa ide ini muncul, durasi hujan yang panjang atau lagi rindu pada hangat sang surya. Jelas itu bisa jadi alasan.

Emotikon senyum mentari, arah pandang terfokus ke sana, lalu tatapan lama mengubahnya jadi anima berupa cahaya. Cahaya itu jatuh menerpa sudut-sudut ruang yang se-garis dengan jendela kaca, ruangan pun bermandikan cahaya yang begitu menyilaukan mata. cahaya putih terang hadir dalam ruang seolah membangunkan segera tentang apa yang terjadi.

Yang terjadi, kelopak mata terbuka perlahan setelah terpejam lama. Mata menyipit lalu pandangan mengindera setengah layar, inilah cara halau silau cahaya dalam ruang. Dan, dengan setianya jarum pengukur waktu bergerak memutar mengitari angka-angka, tak ada protes, tak ada juga yang ingat sudah berapa banyak putaran jarum hingga pagi berganti siang.

Dari balik kaca jendela, beningnya kaca bikin mudah layangkan pandangan ke luar ruang menatap rangkaian objek-objek alam yang visualkan keindahan panorama zambrud khatulistiwa. Siang penuh cerah, jelas terlihat hamparan sawah yang berarah dalam garis pematang lalu rimbunan pohon jadi bagian penegas batas area persawahan.

Masih dari pojok ruang dekat jendela, pandangan tetap menjelajah sejauh yang bisa diinderanya. Tak jauh dari area persawahan, tampak beberapa bocah-bocah kecil bermain menari lalu mandi di empang yang airnya meluap penuh. Yah, empang ini menyerupai danau mini sebab hujan deras turun sepagi tadi.

Yang terlihat sungguh menarik, saat menyaksikan kawanan bocah sedang bermain di area pematang tani dengan riangnya nikmati suasana, bocah-bocah lucu yang pandai berinteraksi manfaatkan wahana alam. Tentu saja mereka sudah akrab dengan lingkungan sekitar, juga akrab dengan tata ruang kamar ini sebab seringnya bertandang kemari.

Tak lama jarak waktu. Hadir seorang anak perempuan berbaur dalam kawanan bocah-bocah yang sedang ngumpul bermain, mereka langsung terlihat dekat, rekat tak ada penyekat diantara mereka sesama anak-anak. Bocah perempuan ini nampak berbeda dari bocah lainnya, gaya bahasa, respon sikap dan juga pakaian yang sedikit necis. Dari gerak tingkahnya, jelas anak ini datangnya dari kota.

Tak seberapa jauh dari area bermain bocah-bocah tani. Mobil putih berkilau indah lagi hiasi parkiran bahu jalan seberang kantor desa. Di sana, situasi pelataran balai desa nampak lebih ramai dari hari-hari biasa sebab pejabatnya sedang menyambut kedatangan tamu, pengusaha ibukota.

Sementara sumber cahaya telah bergeser ke barat. Berada dalam ruangan yang tak lagi seterang siang tadi, suasana sejuk tenang pun tercipta. Namun tiba-tiba saja gemuruh derap kaki ramai terdengar mendekat. Oh, rupanya bocah-bocah kecil yang datang dari pematang bertandang kemari. Dalam regu bocah petualang terlihat pula si bocah perempuan ikut serta bersama mereka. Nah, sebenarnya bocah perempuan ini juga bagian dari rombongan tamu yang ada di balai desa, namun dia lebih memilih bermain dengan anak sebayanya.

Fokus perhatian pun tertuju pada bocah perempuan, ada rasa penasaran yang tersimpan dalam batin dan segera saja bertanya untuk mendengar cerita dari petualangan mereka siang tadi. “Kamu lihat, kan bagaimana kehidupan di sini. Jadi, pelajaran apa yangkamu dapatkan saat bermain bersama teman-teman bocah petualang?”.

Tanpa sempat mengenalkan namanya, si bocah perempuan langsung menjawab. “Ini sebuah kenyataan bahwa. Saya mempunyai dua ekor kelinci, sedangkan mereka memiliki puluhan ekor hewan ternak. Saya punya sebuah kolam yang panjangnya hanya sampai di tengah-tengah taman. Sedangkan mereka memiliki empang yang luasnya hampir seukuran lapangan bola. Ayah saya memasang lampu taman yang dibeli dari luar negeri dan mereka memiliki sumber cahaya langsung dari langit, tanpa pernah khawatir akan terhalang bayangan gedung-gedung tinggi”.

Si bocah perempuan diam sesaat, seperti lagi ngatur ulang tutur kata yang segera diperdengarkannya. “Beranda rumah saya begitu lebar mencapai halaman depan dan beranda milik mereka seluas horison. Saya tinggal dan hidup di tanah yang terbatas, sedangkan mereka mempunyai tanah sejauh mata memandang. Saya memiliki pelayan yang bisa melayani setiap kebutuhan. Tetapi mereka melayani diri mereka sendiri. Saya membeli makanan yang akan dimakan, tetapi mereka menanamnya sendiri. Saya mempunyai dinding indah yang melindungi diri dan keluarga, sedangkan mereka memiliki teman-teman untuk saling menjaga kehidupan mereka”.

Mendengar jawaban dari bocah perempuan, isi ruangan jadinya hening sesaat. Kemudian bocah perempuan lanjut tambahkan “Terima kasih teman-teman bocah petualang, akhirnya saya tahu betapa kayanya kalian”. |Saff_DC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun