Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan merupakan salah satu alat monitoring perpajakan yang akan membuktikan patuh atau tidaknya wajib pajak terhadap aturan perpajakan atau bisa dikatakan uji kepatuhan Wajib Pajak. Untuk itu, Wajib Pajak diharapkan dapat memahami hak dan kewajiban selama proses pemeriksaan supaya proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan tujuan pemeriksaan dapat tercapai.
Mekanisme alur pemeriksaan pajak dimulai dari adanya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dimana data dan/atau keterangan tersebut diminta oleh DJP karena diduga adanya pemenuhan kewajiban yang belum sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Hasil pemeriksaan berkualitas apabila didukung bukti pemeriksaan berdasarkan hasil pengujian teknik pemeriksaan dan pengumpulan bukti secara kompeten yang cukup dan dapat digunakan sebagai alat bukti, Apakah benar ? Apakah baik ? dan Apakah perlu ?
Afiliasi atau Hubungan Istimewa atau Pihak Bereleasi
Dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
1. Kepemilikan atau penyertaan modal; atau
2. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Penggunaan kata "hubungan istimewa" dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi tetapi menggunakan istilah "berelasi" merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata "related party". Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Suatu perusahaan dikatakan mempunyai hubungan istimewa dengan Perusahaan pelapor jika (paragraf 9):
* Perusahaan tersebut yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah ventura bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, sub-subdiaries, dan fellow subsidiaries).
* Perusahaan tersebut adalah perusahaan asosiasi (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 15 Investasi dalam Perusahaan Asosiasi);
* Perusahaan tersebut adalah perusahaan ventura bersama di mana perusahaan pelapor menjadi venture (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 12 Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama);
* Perusahaan tersebut adalah perorangan (dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya;
* Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang mengendalikan, venture bersama, atau yang dipengaruhi secara signifikan oleh individu (dan anggota keluarga dekat dari individu tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya; dan
* Perusahaan tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari salah satu perusahaan pelapor atau perusahan mana pun yang berelasi dengan perusahaan pelapor.
Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahan pelapor. Pihak-pihak berelasi dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan harga jualnormal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan harga pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa. Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual normal kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi (Juan dan Wahyuni, 2012:535).
Â
Pada era globalisasi saat ini banyak persaingan bisnis yang kompetitif dan Perusahaan juga berusaha membuat strategi bisnisnya untuk kelangsungan usahanya. Oleh karena itu setiap perusahaan terutama banyak perusahaan multinasional menerapkan kegiatan transfer pricing.
Sebelumnya praktik transfer pricing dilakukan oleh perusahaan hanya untuk menilai kinerja antar divisi perusahaan. Kemudian semakin dengan berkembangnya zaman, praktik transfer pricing digunakan untuk manajemen pajak yaitu dengan menekan biaya pajak dari yang sebenarnya harus dibayarkan oleh perusahaan (Mangoting, 2000)
Kegiatan transfer pricing sendiri diduga berupa kegiatan illegal karena termasuk kegiatan penghindaran sejumlah pajak, namun di sisi lain dianggap legal karena dapat mempertahankan berdirinya perusahaan dengan meminimalkan sejumlah biaya.
Transfer pricing adalah kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi maupun harta tak berwujud atau transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan afiliasi dan multinasional. Dalam prakteknya transfer pricing digunakan oleh beberapa perusahaan multinasional untuk menghindari pungutan pajak yang besar dengan cara mengecilkan seminimal mungkin transaksi pajaknya antar sesama anggota perusahaan (intra company), tetapi dampaknya membuat beberapa negara mengalami kerugian dalam penerimaan pajak. Pemasukan pajak dapat bertambah seret dan menimbulkan BEPS (penggerusan pajak).
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah strategi penghindaran pajak (tax avoidance) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk "menghilangkan" keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak. Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Transfer Pricing dapat menjadi masalah dalam penerapannya bagi sebagian negara karena berpengaruh terhadap pendapatan negara, dalam menghindari pembayaran pajak beberapa perusahaan menerapkan praktik transfer Pricing. Transfer Pricing didefinisikan sebagai harga yang ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama. Transfer pricing dapat juga diartikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Dilihat dari aspek perpajakan, pengertian transfer pricing adalah harga yang dibebankan oleh suatu perusahaan atas barang, jasa, harta tak berwujud kepada perusahaan yang mempunyai  hubungan istimewa.
Dalam Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. Maksud dari pernyataan dalam pasal 18 ayat (3a) ini mengenai kewenangan Dirjen Pajak untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berbicara tentang kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) yaitu kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
Dengan demikian, Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi afiliasi pada hakikatnya adalah suatu pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi afiliasi tersebut.
Jenis transaksi afiliasi antara lain:
1. transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud,
2. transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service),
3. transaksi pengalihan dan pemanfaatan harta tak berwujud,
4. transaksi pembayaran bunga, dan
5. transaksi penjualan atau pembelian saham.
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-22/PJ/2013 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam Pemeriksaan transfer pricing, tahapan yang dilakukan terdiri dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan tahapan pelaporan. Pertama, Tahap Persiapan Pemeriksaan transfer pricing, Hal yang perlu diperhatikan adalah Pemeriksa Pajak seharusnya mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak terkait hubungan istimewa dengan lawan transaksinya. Kedua, Tahap Pelaksanaan Pemeriksaan transfer pricing, terdiri dari menentukan karakteristik usaha Wajib Pajak, memilih metode transfer pricing, dan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam Pemeriksaan Pajak perlu memperhatikan dokumen yang menjadi dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Ketiga, Tahap Pelaporan Pemeriksaan transfer pricing, dilakukan sesuai dengan tata cara pemeriksaan yang berlaku.
Pemeriksa Pajak dapat mengulang tahapan kedua untuk memilih metode transfer pricing lainnya yang paling sesuai, jika tidak dapat menemukan informasi terkait pembanding atau tidak dapat melakukan penyesuaian andal yang akurat (reasonably accurate adjusment). Pada praktiknya, ketiga tahapan pelaksanaan Pemeriksaan transfer pricing tersebut di atas bukanlah tahapan linier.
Diskursus KritikÂ
Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer yang membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principles) terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Artinya bahwa Wajib Pajak harus menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak berelasi (related parties) yang sudah disepakati antara Wajib Pajak dan Dirjen Pajak guna terjadinya praktik penghindaran pajak (tax avoidance).
Tetapi nyatanya praktik penghindaran pajak dalam transfer pricing masih terus terjadi meskipun laporan keuangan Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan laporan keuangan oleh Akuntan Publik. Hal ini dikarenakan Akuntan Publik tidak berperan untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan karena di Indonesia Akuntansi dan Pajak menjadi dua hal yang berbeda. Oleh karena itu Pemerintah seharusnya dapat mengaktifkan peran Akuntan Publik juga dalam menguji nilai kewajaran transfer pricing agar tidak ada lagi kesempatan atau celah dalam transaksi transfer pricing untuk melakukan penghindaran pajak.
DAFTAR REFERENSI
Lingga, I. S. (2012). Aspek perpajakan dalam transfer pricing dan problematika praktik penghindaran pajak (tax avoidance). Jurnal Zenit, 1(3), 210-221.
https://accounting.binus.ac.id/2019/11/08/tahapan-pemeriksaan-transfer-pricing/
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-22/PJ/2013
Mangoting, Yenni. (2000). Aspek Perpajakan Dalam Praktik Transfer Pricing. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 2 No. 1, Mei 2000: hal 69-82. http://puslit.petra.ac.id/ journals/accounting2000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H