Membahas masalah poligami yang saat ini tengah menggegerkan sebagian masyarakat khususnya di daerah Aceh dimana akan dilegalkannya Qanun atau perundang-undangan perkawinan terkait diperbolehkannya poligami tentu tidak akan ada habisnya dan terus menuai pro dan kontra.
Pada awalnya saya tidak ingin menulis tentang hal ini mengingat saya terbilang masih berumur jagung dan belum mengetahui betul hakikat dari pernikahan sekaligus belum cukup pengetahuan untuk mengupas masalah ini tapi ada perasaan yang mengganjal ketika kita belum bisa mengeluarkan unek-unek yang ada di pikiran kita terhadap topik yang sensitif dan menarik ini apalagi kita sebagai wanita.
Pada artikel kali ini, saya tidak akan bertele-tele menjelaskan apa itu poligami karena sudah banyak sekali artikel yang menjelaskan demikian. Tapi saya akan menuangkan pandangan saya terkait pro-kontra isu qanun poligami yang sampai kini terus bergejolak.
Sesungguhnya tidak benar tentang tuduhan Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami sebab pada kenyataannya, aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan dikembangkan di negara-negara non-Islam seperti Jepang, Afrika, China, dan India.Â
Bahkan sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam, yaitu orang-orang Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Belanda, Belgia, Denmark, Inggris, dan Swedia. Maka, tidak benar anggapan bahwa poligami dilahirkan dari agama Islam.
Tinjauan Tasawuf Poligami
Mengenai hukum berpoligami sendiri bisa dikaji dari salah satu kitab tasawuf karangan Ibn Atha'illah al-Sakandari berjudul al-Hikam bahwa selama si pihak laki-laki memenuhi semua syaratnya dan istri sebelumnya merelakan hal itu tidak menjadi masalah karena itu sebuah opsional atau pilihan. Dan bagi si perempuan berhak mengajukan syarat terkait poligami.
Misalkan, saya dilamar seseorang dan mengatakan "Saya tidak mau dipoligami selama saya masih mampu menjalankan tugas sebagai seorang istri". Apakah saya mengharamkan poligami? Jelas tidak, karena Allah sendiri yang memperbolehkannya. Analoginya seperti jangan makan jengkol karena saya tidak suka baunya. Jadi, jika makan jengkol jangan dekat-dekat saya.
Sama seperti itu, jika saya masih mampu menjalankan tugas saya, saya tidak mau dipoligami kecuali kalau saya sakit menahun dan tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang istri. Tapi tetap, syarat-syaratnya harus benar-benar terpenuhi, yaitu keadilan dan pembatasan empat istri.
Adapun mengenai hak suami dan istri, hak suami adalah kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami adalah hak bagi istri, yaitu: