Saat aku kecil, aku pernah bermasalah dengan seorang guru. Guru baru yang datang dengan segala kewibawaan dan kebijaksanaan telah membuat sejarah baru dalam lembaran hidupku. Walaupun berkali-kali hukuman yang dibebankan kepadaku menjadi suatu kebiasaan saat itu, kisahku ini begitu membekas hingga aku dewasa bahkan dengan adanya arus problematika pendidikan yang saat ini terus bergejolak, ini mungkin bisa menyadarkan kita akan hakikat pendidikan itu sendiri.
Aku yang saat itu dikenal sebagai gadis kecil dengan kenakalan yang luar biasa, sering bermasalah dengan beberapa teman di kelas bahkan sering membuat menangis teman laki-laki, sering bolos sekolah (adegan jangan ditiru!) namun aku selalu menduduki peringkat tiga besar dengan nilai tertinggi.
Saat itu, aku berusia 9 tahun dimana aku duduk di bangku kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah swasta di daerahku. Dimana pada masa itu seorang anak dengan perkembangan daya imajinasi dan daya ingat yang tinggi, dimana seorang anak sedang asyik dalam lingkungan pergaulan yang tidak sedikit, dimana seorang anak menikmati masa-masa indahnya bergurau, bercanda, bahkan tidak sedikit kenakalan-kenakalan yang dibuat mereka seringkali membuat orang tua maupun guru menjadi naik pitam.
Datanglah guru baru yang mengubah pemahamanku akan pendidikan. Pertama kali aku melihat beliau, tampak biasa-biasa saja. Ia tampak ramah. Namun, ada sesuatu yang membuatku terpana. Beliau mempunyai keterbatasan fisik! Saat itu, aku berharap beliau tidak akan kerasan di sekolahku yang membosankan itu dan aku memikirkan kejahilan-kejahilan yang akan aku timpakan kepada beliau.
Suatu ketika, guru baru itu datang ke kelasku dan memperkenalkan dirinya.
"Assalamualaikum! Apa kabar semua? Mulai hari ini, saya akan mengajar kalian sains. Ada yang sudah kenal dengan saya?", sapa beliau dengan ramah. Anak-anak hanya membisu.
"Kalau sama saya kenal nggak, Pak? Haahaha!", teriakku kepadanya.
"Kalian boleh memanggil saya Pak Ni, ok?"
"Nini-nini!!! Hahahaha", jawabku lantang. Sontak saja seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Beliau hanya tersenyum.
Saat itu, aku membuat ulah dengan mencoret-coret dinding dengan bolpoin warna dan crayon. Aku melakukannya dengan senang hati dan kulakukan dengan sengaja. Pak Ni yang mengajar saat itu tentu saja, tidak marah. Beliau menyuruhku untuk menghapus semua coretan itu. Aku bersikeras tidak mau. Apapun yang terjadi.
Pernah juga, aku meletakkan permen karet di kursi guru. Dan tepat saat itu Pak Ni yang mengajar. Aku tertawa bahagia karena beliau terkena jebakan yang kubuat. Gema tawa sekelas semakin membuat menarik kejahilan yang kubuat.