Angin berdesir mengikuti harmoni alam yang mengalun mengikuti cahaya senja. Gemericik riak air sungai terdengar semakin berarak hingga menembus pori-pori ranting pepohonan yang bergumul.
"Bagaimana jika kau tidak diterima?". Sontak saja, ia langsung menatap kawannya dengan tajam. Pipinya memerah. Langkahnya terhenti. Menghela nafas dan menyeruput secangkir kopi yang ia genggam.
"Aku tidak tau."
Jawaban yang singkat menutup semua kemungkinan kala itu.
"Maafkan aku. Aku percaya kau adalah orang dengan ketajaman intuisi dan setumpuk prestasi"
"Terkadang, aku juga membayangkan bagaimana jika aku tidak ditakdirkan disana. Tapi semua keraguanku itu kututup dengan senyuman bahagia dan kepercayaan ibuku."
"Apa yang membuatmu ragu?"
"Kemampuanku". Air matanya mulai menganak sungai membasahi pipinya. Isak tangis yang semakin menggetarkan sore itu di bawah rerimbunan daun yang mulai berguguran diterpa angan yang mencekam.
"Entah apa yang akan dilakukan ibuku kepadaku jika aku tidak disana. Mungkin aku akan digantungnya. Aku sebagai anak tunggal dan seluruh harapan ibuku dibebankan kepadaku. Setelah kepergian ayahku, aku bertekad....bertekad... ", Lanjutnya. Secangkir kopi dalam genggamannya tumpah ruah ke tanah. Ia memeluk kawannya erat-erat. Sedu sedan tangisan menyelimuti senja dalam rintik hujan. Â Jeda membungkam.
"Ingat, Rene Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan"
"Tapi tidak ada keraguan atau penyangkalan ini yang dapat dipertahankan."