Mohon tunggu...
Asfira Zakia
Asfira Zakia Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswi

E= mc2

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menyingkap Tabir dari Pertanyaan "Buat Apa Menulis?"

4 Juli 2019   10:14 Diperbarui: 4 Juli 2019   10:14 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Menulis adalah ikat ilmu pengetahuan,

Karena dengannya mampu mengabadikan ingatan.

Menulis adalah ukiran paling pengertian,

Karena di dalamnya tak ada modal- modal kebohongan.

Menulis adalah portal kehidupan,

Karena kekuatannya mampu mengungkap perasaan.

...

"Buat apa menulis?" pertanyaan yang sudah menjamur di kalangan masyarakat awam. Dan juga tidak sedikit pertanyaan itu yang saya temui di lingkungan pelajar sekalipun bahkan banyak dari teman-teman saya yang beranggapan demikian. Apalagi dengan adanya kecanggihan gawai saat ini, tidak menutup kemungkinan angka minat menulis khususnya di Indonesia semakin menurun. Ya, kita bisa melihat bukti nyatanya, banyak murid ataupun mahasiswa sekarang lebih memilih memotret daripada mencatat. Itu salah satu bukti atensi menulis di negara kita masih rendah. Namun, sebenarnya untuk apa sih menulis itu?

Masih Terkungkung dalam Apriori

Berawal dari pemikiran yang sama, saya merupakan mahasiswa yang paling malas menulis ataupun dalam hal karang-mengarang bahkan sejak SD saya paling benci jika disuguhi soal mengarang. Saya pikir, tidak ada gunanya menulis. Toh, nanti tidak ada nilai menulis di dalam ijazah. Di bangku kuliah ini pun ketika dosen menuliskan tambahan materi di papan tulis, saya hanya memotretnya dengan gawai lalu membiarkan hingga tertimbun oleh gambar-gambar pribadi dan akhirnya terlupakan. Memang menyesal kalau mengingat kelakuan konyol saya saat itu. Hahaha...

"Orang-orang hebat selalu menulis. Lihat saja, selalu ada karya di balik kisah orang- orang sukses, misalnya Ibu menteri keuangan kita, Ibu Sri Mulyani atau dosen-dosen disini pasti punya karya," kata dosen saya.

"Membacalah jika engkau ingin mengenal dunia, menulislah jika engkau ingin dikenal dunia," nasehat dari senior saya yang rajin mengingatkan adik tingkatnya untuk selalu menulis dan aktif menulis di kompasiana, ya dia bernama Faizal Chandra (Ups).

Karena penasaran, saya mencoba untuk melangkah pada lembaran baru perjalanan hidup saya. Ya, perjalanan menulis saya dimulai ketika saat itu diadakan suatu ajang unjuk kreatifitas penulisan esai. Saya yang saat itu coba-coba dan iseng belaka apalagi itu kali pertama saya menulis, tanpa pembekalan dan hanya saya kerjakan ala kadarnya mengingat waktu saya padat akan kegiatan pondok serta tugas kuliah yang menumpuk di meja saya. Saya terkejut dan benar-benar tidak percaya ketika teman saya memberi tahu saya bahwa tulisan saya itu dimuat di dalam sebuah buku. Mengingat saya hanya mengerjakannya dalam dua jam, itu seperti lelucon belaka. Namun, ada perasaan tersendiri saat itu yang membuat saya terus terpacu untuk menulis.

Berat memang, kalau kita mau menulis. Memikirkan ide apa yang akan ditulis, alurnya nanti, gaya bahasanya, dan musuh yang paling utama adalah malas. Sungguh tidak menduga juga ketika dosen saya menugaskan membuat artikel setiap minggu di kompasiana. Membosankan dan menakutkan selalu diburu deadline. Kita juga harus pandai-pandai mengolah dan cukup memutar otak agar isinya tidak masif layaknya materi kuliah. 

Antara Esensi dan Eksistensi

Suatu ketika, ada yang menanyai saya, "Menurut Sampeyan, jika artikel Sampeyan menjadi artikel utama, apakah Sampeyan berhenti menulis atau bagaimana? Menurut Sampeyan, ungkapan Pak Mukhlis (dosen saya) kalau sudah menjadi artikel utama enggak usah bikin artikel lagi itu sebuah tes atau kebenaran?".

Menurut saya, jika dalam hidup pasti dihadangkan dengan penuh persaingan, maka menulis itu bukan perihal kalah atau menang. Dalam dunia kepenulisan tidak ada yang namanya persaingan.

Kalau saya ditanya ingin artikel saya menjadi artikel utama ya pasti semua orang menginginkannya. Namun, pada hakikatnya menulis itu tentang bagaimana kita belajar menjadikan tulisan kita semakin meningkat dan meningkat. Karena, semakin lama kita menulis, semakin meningkat juga kualitas tulisan kita.

 Dalam proses menulis, kita juga akan mendapat wawasan baru dan mengasah pemikiran serta pandangan baru. Sehingga, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menulis.

Ungkapan pak Mukhlis terkait tugas tersebut juga adalah bentuk tes. Beliau ingin tahu apakah didikannya itu menulis hanya demi tugas atau memang benar-benar ingin belajar hakikatnya menulis. 

Pesan yang selalu saya ingat dari beliau adalah jika matkul ini sudah selesai, jangan berhenti menulis. Beliau ingin kita terbiasa menulis sebagaimana kata pepatah 'tresno iku jalarane saka kulino'. 

Artinya, bahwa cinta itu ada karena terbiasa. Artinya apa? Kunci menjadi penulis yang baik adalah latihan, latihan, dan latihan. Dengan latihan, akan muncul rasa suka dalam menulis.

Selain itu, juga sebagai bentuk latihan menguji konsisten dan komitmen sekaligus menguji hak kita untuk memilih untuk tetap produktif atau tidak karena itu otoritas kita.

Tentu, saya pikir-pikir jawaban saya itu menyadarkan bahwa saya mempunyai hobi baru selain utak-atik PC gak jelas tengah malam. Bahwa dengan menulis, saya mampu menuangkan segala aspirasi yang tidak dapat saya ungkapkan secara verbal sekaligus wadah kecimuk hati saya ketika hati sudah tidak sanggup menampung segala beban kehidupan. Entah sejak kapan juga saya jadi puitis begini. Hahaha...

Namun, ketakutan saya dimulai ketika saya harus berhadapan dengan kalimat "Waah, artikelnya jadi pilihan", itu membuat saya bimbang akan menulis artikel kedepannya. 

Perasaan takut yang selalu menyelimuti apakah bisa mempertahankan kualitas artikel salanjutnya atau tidak. Karena kualitas artikel itu terletak pada kekuatan sudut pandang kita.

 Mau tidak mau, setiap hari kita harus menemukan sudut pandang kita khususnya pandangan kita terhadap berita terbaru.

Menulis, khususnya di kompasiana menurut saya bukan melulu tentang menjadi artikel utama atau pilihan karena itu semua hanya adenda atau tambahan. 

Bukan pula hanya sekedar ingin dikenal karena pada dasarnya penulis itu bukan selebritis. Dengan menulis sendiri, pikiran dan persepsi kita benar-benar diuji dan diasah.

Memaknai Analogi dan Substansi Menulis

Namun, seperti halnya kehidupan, dalam proses menulis tidak selamanya mulus. Ada yang mengatakan bahwa menulis itu seperti menanam pohon. Kita tidak langsung mendapatkan hasilnya, tapi perlu menunggu hingga benih itu tumbuh menjadi pohon berdun lebat bahkan menunggu hingga buahnya ranum.

Ketika saya sudah banyak menuliskan artikel ber-genre edukasi, saya mencoba banting stir untuk mengambil genre yang berbeda.. Pada saat saya membuka laptop hendak menulis genre lain, saya bingung "Ini apa yang mau saya tulis?", haha konyol memang.

Saya biarkan laptop saya itu tetap terbuka dan saya pandangi terus tanpa menyentuh keyboard. Saya pantengi berlama-lama tanpa ada ide yang muncul di kepala. 

Sebentar saya buka WhatsApp tapi kebablasan. Lalu saya kembali memandangi laptop saya lagi dengan ide yang masih kosong. Susah memang, apalagi kalau topiknya kurang kita pahami. Karena penulis yang baik membutuhkan amunisi dan tanpa amunisi penulis tidak akan bisa menulis.

Tidak hanya diperuntukkan bagi sastrawan atau pun jurnalis, menulis adalah hak semua orang. Menulis itu laksana sebuah foto, dimana bisa membawa penulis ataupun pembaca ke dalam waktu-waktu tertentu.

 Hanya saja, esensi memori bagi setiap orang berbeda-beda. Maka, tidak ada alasan untuk berhenti menulis ataupun tidak menulis. Sekali kau menulis, kau akan terbuai oleh kenikmatan oleh indahnya barisan-barisan diksi dan aksara yang kau torehkan.

~Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun