Ungkapan ini berasal dari masyarakat etnis Arfak, Papua Barat yang memaknai Tanah sebagai "ibu atau mama" yang memberikan mereka "air susu" atau kehidupan. Arti di balik ungkapan tersebut adalah jika tanah terus menerus digarap maka akan tandus dan tidak subur lagi (Mulyadi & Deni, 2016).Â
Masyarakat etnis Arfak akan meninggalkan kebun mereka untuk sementara waktu lalu berpindah  untuk mengusahakan ladang mereka yang lainnya. Hal ini seperti masa bera yang dilakukan oleh masyarakat suku Baduy, dimana pada penanaman padi lahan kering mereka akan mengistirahatkan lahan setelah dipanen selama 7-11 tahun lalu ditanami kembali.
Tentunya kita tahu betul bahwa perkembangan manusia purba dalam memperoleh makanan dimulai dengan berburu dan meramu kemudian mengenal bercocok tanam dengan ladang berpindah lalu mulai menetap pada satu wilayah.Â
Masyarakat etnis Arfak yang mendiami Pegunungan Arfak masih melestarikan budaya ladang berpindah meskipun zaman telah mengalami perkembangan.
Masyarakat etnis Arfak menerapkan sistem pertanian ladang berpindah secara turun temurun. Mereka akan membuka lahan baru ketika ladang tempat mereka bertani telah menunjukkan penurunan hasil produksi setelah digarap selama 2-3 tahun.Â
Berpindah ke lahan yang baru akan memberi waktu bagi tanah pada kebun lama untuk memulihkan "diri" selama 3-6 tahun. Setelah dilihat pada kebun yang lama telah tumbuh pohon tanaman Alnov (Dodonea viscose Jack), Bikiwom, dan pohon Weimu telah setinggi 2 - 4 meter, serta lumut-lumut sudah banyak menempel, maka lahan tersebut sudah subur dan sudah bisa digarap kembali (Mulyadi & Deni, 2016).
Budaya ladang berpindah bukanlah semata-mata karena tanah tidak lagi memberi hasil yang baik bagi mereka. Melainkan masyarakat etnis Arfak paham betul akan pentingnya menjaga hutan. Istilah dalam bahasa mereka disebut Igya Ser Hanjop yang artinya "Mari menjaga batas tanah".Â
Adanya batasan pada wilayah yang boleh dan tidak boleh dimanfaatkan. Pertama, masyarakat tidak boleh menanam pada kawasan hutan asli (Bahamti). Kedua, pada kawasan Nimahamti atau bekas kebun lama yang telah ditinggalkan selama 10-20 tahun, dimana kondisinya telah menyerupai hutan asli. Ketiga, kawasan yang boleh digarap (Susti) yang terletak di kaki gunung. Keempat, bekas kebun ubi jalar yang letaknya di sekitar perkampungan atau halaman rumah disebut kawasan Situmti (Mulyadi & Deni, 2016).
Kearifan lokal ini dinilai dapat mendukung konsep pertanian berkelanjutan karena pada proses mengelola lahan sangat memperhatikan aspek kelestarian lingkungan tanpa melupakan aspek kesejahteraan sosial dan aspek keuntungan secara ekonomi.Â
Bagi sebagian orang sistem ladang berpindah akan dinilai sebagai kegiatan merusak lingkungan, akibat yang paling umum terjadi adalah berkurangnya biodiversitas vegetasi dan perubahan langsung pada iklim mikro di sekitar ladang. Akan tetapi, masyarakat etnis Arfak memiliki pandangan lain pada pola ladang berpindah.Â
Mereka tetap memperhatikan kelestarian alam, dimana setiap satu kepala keluarga petani memiliki 2-4 lahan tempat berladang sehingga tanah pada kebun lama akan memiliki waktu yang cukup untuk memulihkan unsur hara, bahan organik, siklus air tanah serta vegetasi selama berpindah dari satu lahan ke lahan lainnya.Â
Ketika keempat lahan telah digarap, maka saat itu tanah pada lahan pertama telah pulih dan siap untuk digarap kembali. Budaya ini dapat dinilai sebagai hubungan balas budi oleh manusia terhadap kelestarian alam. Alam memberikan hasil terbaiknya dan manusia memberikan waktu bagi alam untuk beristirahat.Â
Jika kita pikirkan lagi, masyarakat etnis Arfak bisa saja menanam pada keempat ladang dalam satu musim tanam dengan memberikan input bahan organik dan pupuk yang cukup pada tanah sehingga  dapat memperoleh hasil yang lebih tinggi sepanjang tahun.
Akan tetapi, hal ini tidak mereka lakukan karena mereka memaknai betul arti tanah dan kehidupan pada suatu lahan. Selain itu, proses yang dilakukan manusia tidak akan sesempurna apa yang dilakukan oleh alam.
Bagi masyarakat etnis Arfak budaya ladang berpindah dapat diterima dan tidak merugikan masyarakat sehingga diturunkan dari generasi ke generasi. Mereka juga menerima adanya inovasi dari luar dan mengadopsi sebagian inovasi seperti pengenalan komoditas baru sehingga pengetahuan akan budidaya lebih berkembang dan memperoleh hasil yang bervariasi, optimal dan berkualitas.Â
Namun tidak sedikit pula inovasi pertanian yang ditolak karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, ada aspek kesejahteraan sosial yang dicapai oleh masyarakat dalam kehidupan mereka.
Jika dipandang pada aspek perekonomian, masyarakat etnis Arfak tetap memperoleh keuntungan dari kegiatan pertaniannya. Ketersediaan bahan makanan yang dapat dipanen setiap hari membuat masyarakat dapat selalu memenuhi kebutuhan pangan hariannya, salah satunya adalah ubi jalar (batatas).Â
Masyarakat etnis Arfak memiliki cara menanam ubi jalar dalam satu rumpun ditanam pada empat sisi. Saat panen pertama akan digali secara perlahan pada satu sisi dan ditinggalkan akar-akar lalu lubang tersebut ditutup kembali.Â
Panen pada hari berikutnya pada sisi-sisi yang lain sehingga satu rumpun dapat dipanen selama satu tahun. Masyarakat hanya panen secukupnya untuk kebutuhan pangan keluarga serta dijual ke pasar sehingga setiap keluarga tidak akan kekurangan bahan pangan dan alam tidak diambil berlebihan sehingga baik alam maupun manusia tidak ada yang dirugikan.
Pustaka:
Mulyadi & Deny A. Iyai. 2016. Pengaruh Nilai Budaya Lokal terhadap Motivasi Bertani Suku Arfak di Papua Barat. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 5(1): 18-29.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H