Pernahkah kalian mendatangi perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) baik skala regional ataupun nasional? Saya sendiri baru merupakan kali pertama mengikutinya. Pada tahun ini dalam skala regional Jawa Tengah, Hari Pangan Sedunia (World Food Day) yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober diselenggarakan pada tanggal 25-27 Oktober 2019 di Halaman Kampus 3 IAIN Salatiga. Berbagai stan dari setiap kabupaten dan kota di Jawa Tengah menampilkan pameran produk pertanian segar dan olahannya yang juga dapat dibeli oleh pengunjung. Peringatan Hari Pangan Sedunia ke-39 ini mengusung tema "Teknologi Industri Pertanian dan Inovasi Mewujudkan Daulat Pangan".
Beberapa wilayah di Jawa Tengah mengisi stan dengan setiap produk unggulan dari daerah masing-masing serta menjual olahan-olahan menarik dari produk pertanian yang merupakan suatu inovasi baru. Tak hanya itu, terdapat deretan stan Festival Kearifan Lokal yang diisi dengan beberapa kelompok tani dan perhimpunan suatu komoditas tertentu di antaranya Kelompok Tani Rukun Santoso Satu yang mengolah produk susu, Kelompok Tani Margo Raharjo Empat yang menjual berbagai bibit tanaman sayur dan buah, Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI) yang memamerkan dan menjual beberapa jenis anggrek, serta Perkumpulan Petani Vanili Indonesia (PPVI) Kota Salatiga yang memperkenalkan vanili juga cara budidayanya. Tak luput dari olahan pangan berbagai stan pada deretan Gelar Toko Tani menjual makanan serta jajanan yang dapat memanjakan pengunjung sembari berkeliling melihat stan yang lainnya.
Namun dalam keriaan acara tersebut, ada suatu pemikiran yang terlintas dalam benak saya ketika mengitari dan melirik ke stan-stan pada perayaan HPS ini. Saya dapat melihat antuasias dan euforia dari pengunjung dan pengisi stan baik kelompok tani, pelaku usaha (UMKM), serta beberapa perhimpunan. Â Namun, terbayangkah jika suatu saat Indonesia mengalami kekurangan sumber pangan? Saya rasa dengan banyaknya sayuran, beras, kekacangan, buah-buahan, ikan, dan daging di pasar atau swalayan membuat kita larut dalam euforia ini. Selama ini sumber-sumber pangan kita tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau. Kita akan spontan mengeluh kepada pedagang bila harga jual bahan pokok mengalami kenaikan. Tanpa kita pikirkan bagaimana upaya para petani untuk menyediakan hasil pangan untuk masyarakat Indonesia.
Dinamika yang terjadi di kalangan petani dalam memproduksi suatu komoditas pangan masih belum bisa diselesaikan hingga tuntas. Mengapa? Karena hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pertama, komoditas pangan tidak hanya diproduksi oleh petani lokal. Kebutuhan beras bagi masyarakat di seluruh Indonesia sangat tinggi, karena sebagian besar memakan nasi sebagai makanan utama, hingga muncul ungkapan "rasanya belum makan, bila belum ada nasi" yang artinya belum kenyang bila belum memakan nasi. Menurut data statistik impor beras meningkat pada tahun 2018 sebesar 2,25 juta ton dibandingkan pada tahun 2017 yang hanya 305 ribu ton (berdasarkan update terakhir oleh BPS per Oktober 2019). Beras impor tentunya akan bersaing dengan beras lokal. Selain beras, kedelai impor juga lebih diminati oleh produsen tempe karena harga jual kedelai impor lebih murah daripada kedelai lokal. Hal ini membuat petani kedelai sedikit demi sedikit mulai beralih menanam komoditas lain dengan harga jual yang lebih menguntungkan. Kedua, fluktuasi harga membuat petani memperoleh keuntungan yang kecil. Apabila terjadi panen suatu komoditas secara serentak, maka akan terjadi penumpukan hasil sehingga harga jual menjadi rendah. Ketiga, pada praktik budidaya komoditas pangan, petani masih mengalami kesulitan dalam mengatasi hama penyakit, kurangnya sosialisasi penggunaan teknologi baru yang spesifik komoditas dan wilayah, serta kegagalan panen karena perubahan kondisi iklim juga menjadi mimpi buruk bagi petani.
Melalui tulisan ini, diharapkan masyarakat dapat memahami kondisi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, baik petani maupun konsumen (masyarakat). Masyarakat menginginkan harga yang murah atau terjangkau sementara hal ini tidak dapat menguntungkan petani karena pendapatan < biaya produksi. Bagaimana agar hal ini dapat menguntungkan kedua belah pihak secara bersamaan? Kita harus membangun kembali kesatuan antar petani di seluruh Indonesia. Langkah awalnya yaitu diharapkan Pemerintah dapat membuat kebijakan berupa pendirian kelompok masyarakat tani di setiap wilayah produksi pertanian. Dalam kebijakan ini, minimal setiap dusun wajib membentuk suatu kelompok tani dan semua petani wajib menjadi anggota kelompok dengan syarat pemerintah akan memfasilitasi kelompok tani tersebut. Keuntungan adanya kelompok tani yaitu pertama, luasan lahan produksi menjadi lebih luas (dari lahan/tanah milik desa ataupun milik pribadi anggota) dan pola tanam dapat diatur bersama-sama sehingga dapat mengontrol jumlah hasil panen agar mencapai target keuntungan. Kedua, proses produksi dapat dilakukan secara berkelompok -- anggota menjadi tenaga kerja. Ketiga, pengadaan alat produksi seperti mesin pengolahan lahan dan alat panen dapat diajukan kepada pemerintah daerah mengatas-namakan kelompok tani dan dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, pemecahan masalah atau kendala produksi dapat dilakukan secara bersama-sama. Dalam hal ini dapat meminta saran dan solusi dari penyuluh pertanian. Kelima, dapat meningkatkan kualitas produk pangan sehingga dapat memasang harga jual yang tinggi.
Berdasarkan keuntungan di atas, jika petani masih melakukan budidaya secara individu, maka luas lahan produksi hanya terbatas pada lahan sewaan atau luas lahan pribadi petani. Selain itu, secara individu petani juga perlu membayar tenaga kerja untuk pengolahan lahan, pemeliharaan, dan panen. Jika petani melakukan budidaya tanpa tenaga kerja upahan (fenomena yang terjadi kebanyakan menggunakan tenaga dari anggota keluarga dan tidak dibayar), maka petani pastinya harus menyediakan alat produksi sendiri dapat dibeli/sewa alat - jika membeli alat yang mahal tidak mendapat bantuan dari pemerintah daerah sehingga biaya produksi semakin tinggi. Dan apabila petani mengalami kendala saat produksi, seperti terserang hama dan penyakit kemudian diberi penanganan yang kurang tepat sasaran maka hanya akan meningkatan biaya produksi berupa pestisida dan menurunkan total hasil panen. Oleh karena itu, pentingnya kerja sama antar petani perlu dibangun lagi agar produksi tetap berlangsung dan menguntungkan petani.
Selain mengintegrasikan petani, kita selaku konsumen juga harus turut mendukung petani. Pola pikir masyarakat yang cenderung menginginkan bahan pangan yang berkualitas secara fisik maupun nilai gizinya baik namun tidak ingin harga yang mahal perlu diarahkan untuk melihat sisi positif dan alasan dari penetapan harga jual. Jangan buru-buru menolak dan mengeluh bila harga bahan pangan naik. Sebab, perjuangan petani tidak bisa disandingkan dengan kebutuhan pangan masyarakat yang jumlahnya sangat banyak. Petani harus menyediakan bahan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan juga masyarakat di seluruh pelosok negeri. Kita harus menjadi masyarakat cerdas dalam menyikapi problema pangan Indonesia.Â
Contoh kecilnya bila harga beras naik, janganlah masyarakat berbondong-bondong menolak hal tersebut tanpa mencari tahu penyebabnya. Padahal kenyataannya bisa saja petani padi mengalami kegagalan panen karena perubahan iklim atau faktor lain yang memungkinkan pengaruhnya terhadap harga jual beras. Sehingga  untuk saat-saat seperti ini masyarakat juga perlu untuk bersimpati kepada petani, karena harga yang tinggi tidak akan terjadi secara terus-menerus. Bila produksi petani kembali optimal maka harga dapat diturunkan kembali ke harga normal. Memang kesejahteraan masyarakat (konsumen) itu penting, tapi jangan lupa bahwa petani juga masyarakat Indonesia yang wajib sejahtera :)
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H