Akhir-akhir ini di Indonesia muncul dua macam "Syi'ah": (a) "Syi'ah Prabowo", (b) "Syi'ah Jokowi". Dua macam "Syi'ah" tersebut berkembang terutama menjjelang dan saat pemilihan presiden 2014. Kita jangan heran dulu, kenapa kok ada dua jenis "Syi'ah", dan apakah dua macam "Syi'ah" tersebut ada hubungannya dengan Syi'ah yang berkembang pesat di Iran? Jangan-jangan kedua kubu dalam pilpres tersebut disusupi ideologi Syi'ah?
Kesan dan pertanyaan semacam itu akan bermunculan dan bertaburan di benak kita, jika kita tidak mencermati penggunaan kata "syi'ah" dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologis) syi'ah itu berarti pendukung, simpatisan dan sebangsanya. Jadi yang saya sampaikan di atas, secara bahasa tidak ada salahnya. "Syi'ah Prabowo" berarti pendukung Prabowo, calon presiden nomor urut 1. Sedangkan "Syi'ah Jokowi" berarti pendukung Jokowi, Joko Widodo, calon presiden nomor urut 2.
Kalau kita melihat sejarah Islam, Syi'ah (yang sekarang berkembang pesat di Iran) itu bermula dari konflik politik di era al-khulafa' al-rashidun (empat khalifah utama sepeninggal Rasulullah saw). Dalam suasana semacam itu muncul sekelompok orang yang dinamakan "Syi'ah Ali" (artinya: pendukung Ali ibn Abi Talib). Mereka mendukung Ali ibn Abi Talib sebagai khalifah yang legitimate, terutama sebagai counter terhadap claim kekhalifahan dari Muawiyah ibn Abi Sufyan. Kelompok inilah yang akhirnya berkembang secara solid, dan berumuskan ideologinya sendiri, yang akhirnya kita kenal sebagai Aliran Sy'ah. Aliran kalam ini sekarang banyak dianut di Iran, Syiria, Irak dan sebangsanya. Dari sini jelas bahwa aliran kalam (aliran teologi) dalam Islam tidak bisa terpisahkan dari permasalahan politik.
Sekarang kita kembali ke "Syi'ah Prabowo" dan "Syi'ah Jokowi" di atas. Saya liat ada kecenderungan bahwa sebagian pendukung Prabowo ("Syi'ah Prabowo") dan sebagian pendukung Jokowi ("Syi'ah Jokowi") yang secara fanatis membela capresnya masing-masing. Mereka merasa terluka kalau capresnya dihina dan sebagainya. Dan itu dilakukan baik pendukung yang terpelajar maupun yang awam.
Saya berharap, semoga setelah pilpres usai, semua bisa kembali ke posisi netral, minimal tidak berlebihan (bahasa Arabnya: ghuluw). Sehingga kehidupan berbangsa menjadi kondusif untuk berkarya, bangsa terjaga kerukunannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H