Mohon tunggu...
Asfar Syafar
Asfar Syafar Mohon Tunggu... Peternak - Sebuah peringatan. Untukku yang semakin lupa tentang bahagianya menulis.

Email: asfarsyafar@gmail.com Blog: asfarsyafar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Curhatan Dini Hari!

1 Januari 2016   01:51 Diperbarui: 1 Januari 2016   03:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini 31 Desember 2015. Kuputuskan malam ini tidur lebih cepat, seperti hari-hari biasanya. Apalagi pola tidurku sebulan ini memang sedang buruk, terlampau sangat buruk. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Ini memang jadwal tidurku. Biasanya aku tertidur pukul delapan, kemudian tersadar tepat tengah malam atau selambatnya dua dini hari. Gemerlap pergantian tahun Gregorian memang tak pernah hinggap dalam hidupku, tak ada yang beda. Dulu, di kampungku pergantian tahun Masehi cukup dirayakan secara sederhana.

Tak ada gemerlap kembang api dan perayaan kenduri. Namun beberapa tahun belakangan pola pesta masyarakat juga ikut berubah. Satu dua keluarga mulai merayakan acara makan bersama, satu dua lainnya mulai mengadakan panggung hiburan. Tak sedikit juga anak-anak kampung yang mulai membakar kembang api, meledakkan petasan, meski acap kali mereka dicap negatif sebab mubazhir uang, membuat kegaduhan. Tak salah, sebab ledakan petasan cukup ampuh mengusik keheningan malam, membangunkan penduduk kampung yang sedang asyik terlelap. Tak sedikit juga yang mencap kemeriahan tahun baru Masehi sebagai aktifitas yang tidak membawa manfaat, tidak sesuai dengan ajaran agama katanya.

Mereka menganjurkan agar pergantian tahun diisi dengan kegiatan positif, refleksi diri. Ingat sejauh apa kita melangkah, dan mantapkan diri untuk mengejar target baru di tahun selanjutnya. Kembali ke malam 31 Desember 2015, dentuman petasan dan kembang api mulai bersahutan. Cukup membuat risih, namun masih dalam batas kebisingan yang dapat ditolerir oleh telingaku. “Tidur-sah-jah-lah!”, ujarku.

Ini Dini Hari 1 Januari 2016. Kebiasaan bangun tengah malam secara refleks menggerakkan saraf tubuhku. Mataku terbuka, telingaku mendengar hal yang tak biasa, pikiranku berkecamuk menandakan kebingungan, tubuhku terperanjat keluar kamar mencari tahu apa yang terjadi. Di luar ada pesta. Langit gelap dihiasi semburat api berwarna. Tak hanya satu, dua, tiga atau empat. Mataku melirik ke seluruh penjuru, kuamati dari lantai tiga asrama. Pikiranku yang masih setengah sadar bahkan tak mampu menghitungnya, sekitar 40 titik.

Bukan hanya pijaran cahaya, suara ledakan pun tak hentinya bersahutan bahkan tak jarang saling berpapasan. Beginilah keramaian pergantian tahun di tempat ini! suasana dini hari di awal tahun memang berbeda di perkotaan. Sungguh luar biasa! Membuat kuduk merinding dan meneteskan air mata. Jangan kira aku berbahagia, sumpah TIDAK! saya hanya membayangkan negara kita sedang dalam kondisi perang. Ledakan bom dimana-mana, teriakan terompet berubah menjadi teriakan tolong, tawa kebahagiaan berubah menjadi tangisan.

Tak tahu malu! manusia-manusia ini terlampau sombong, seakan menantang Tuhan dengan melemparkan bola api ke wajah-Nya. Menyedihkan! manusia-manusia ini sangat berlebihan, menghanguskan uangnya disaat yang lain masih banyak yang kelaparan. Ironi! manusia-manusia ini nampak munafik, berkoar-koar tentang isu penyelamatan lingkungan namun dengan sendirinya melepas emisi karbon ke udara. Saya tak habis pikir, ini hanya dalam jarak pandang saya saja. Tak terhitung 200 meter di tempat sana, 1 km dari sini, di kelurahan lain, kecamatan, kota, provinsi, negara dan benua lain. Tak terbayang banyaknya gas emisi yang dilemparkan ke langit dalam waktu sehari, tak heran bila lapisan ozon semakin menipis.

Di sini, di tempat ini pesta masih belum usai. Bahkan hingga tulisan ini selesai pukul dua dini hari dentuman masih saja terdengar. Hujan turun, baunya asam. Aroma petrichor tak tercium. Dan pesta masih berlanjut. Luar biasa. Biarlah puisi “Menyaksikan Pagi dari Beranda” oleh Aan Mansyur mengantarkanku pada datangnya waktu subuh. Selamat menulis lembar pertamamu!

Langit menjatuhkan banyak kata sifat.

Tidak satu pun ingin kutangkap dan kuingat.

Kubiarkan mereka bermain seperti anak-anak kecil sebelum mengenal sekolah.

Mereka menyentuh pepohonan dan membuatnya berwarna-warni.

Mereka memanjat dinding dan jendela bercahaya.

Mereka mencelupkan jemari di kopi dan mimpiku meluap jadi mata air di halaman.

 

Orang-orang melintas membawa kendaraan.

Mereka menyalakan radio dan tidak mendengarkan apa-apa.

Mereka pergi ke kantor tanpa membawa kata kerja.

Mereka tergesa, tapi berharap tidak tiba tepat waktu.

 

Jalanan keruh sekali setelah pukul tujuh pagi.

Satu- satunya jalan keluar adalah masuk.

Tutup pintu. Biarkan jalanan tumbuh dengan hal-hal palsu.

 

Aku ingin mandi dan tidur siang berlama-lama.

Aku mencintai kemalasanku dan ingin melakukannya selalu.

Pada malam hari, aku ingin bangun dan mengenang orang-orang yang hilang.

Sudah tanggal berapa sekarang?

 

 

Makassar, Dini Hari, Dini Bulan, Dini Tahun 2016.

Salamku, untukmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun