Mohon tunggu...
Arif Setyawan
Arif Setyawan Mohon Tunggu... lainnya -

pendidik sekaligus pemulung

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

______Mistikum [kepengarangan] Pram

27 Februari 2013   17:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:35 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1361987753663536593

“Otak manusia bekerja seperti jantung yang tak berhenti berdenyut, siang dan malam, sejak masa kecil sampai tua renta. Dalam jaringan yang besarnya kurang dari satu setengah kilogram itu, tercatat dan tersimpan berbilyun-bilyun ingatan, kebiasaan, kemampuan, keinginan, harapan dan ketakutan. Di dalamnya tersimpan pola, suara, perhitungan dan berbagai dorongan. Bahkan bisikan yang terdengar tiga puluh tahun yang lalu, atau kenangan kebahagiaan yang tak kunjung dating namun terus terbayang-bayang, tekanan jari yang pasti pada sebuah senar gitar, perkembangan 10.000 langkah catur, lengkungan yang persis dari sebuah bibir (Gilbert Highet, 1987:41).”

Petikan esai Gilbert Highet yang berjudul “Pikiran Manusia yang Tak Tertundukkan”, ihwal pemaknaan tentang kerja otak itu tentunya belumlah lapuk, tak selapuk umur penulisannya. Otak sebagai sarana vital manusia menuju “berpikir”. Proses ‘berpikir’ menuju ‘belajar dan belajar’, terejawantahkan dalam “perkembangan peradaban manusia” terus menerus. Peradaban tak akan berhenti selama manusia tidak berhenti berpikir dan belajar guna mengembangkan peradaban yang telah ada. Karenanya peradaban tak akan pernah menuju bentuk ‘ideal’ dalam pikiran manusia itu sendiri. Semakin manusia berpikir tentang ‘keidealan peradaban’, selama itu pula peradaban kian menjauh dari ‘bentuk ideal dalam pikiran’. Hanya saja peradaban itu berkembang dan terus berkembang dalam ‘bentuk ideal dalam pikiran manusia’.

Kerja Kreatif

Sejauh mana perbedaan antara ‘berpikir’ dan ‘berimajinasi’. ‘Berpikir’ menuntut kerja otak, begitu pula dengan ‘berimajinasi’. ‘Berpikir’ ada dalam alam psikis manusia, tak ubahnya ‘berimajinasi’ berlarian di alam bawah sadar. Ihwal tersebut menggeliatkan  rentetan pertanyaan, ketika masih kanak-kanak, manusia itu berpikir atau berimajinasi? Dalam proses perkembangan manusia, diawali dengan ‘berpikir’ atau ‘berimajinasi’ atau apakah keduanya berbarengan? Nampaknya tiap-tiap manusia akan kerepotan untuk menjawabnya, sebab tak ada manusia secara detail mengingat romantisme kanak-kanak mereka, apalagi ketika masih balita. Romantisme itu terkubur oleh kedewasaan yang kian menjangkit tiap-tiap manusia dewasa.

Menyoal tentang kerja kreatif --kepengarangan--, tentu timbul pertanyaan, apakah ‘berpikir’ atau ‘berimajinasi’ yang berkeliaran di dalamnya, atau mungkin kedua-duanya. Setiap manusia dapat dapat berpikir dan berimajinasi, namun tak semua manusia mampu melakukan kerja kreatif. Dengan bekal dua 26 abjad dan dimensi pengalaman, sudah barang tentu tiap manusia dapat menuju kerja kreatif. Anehnya, tidak semua manusia dapat melakukan kreatif. Apakah hanya manusia pilihan yang mampu melakukan kerja kreatif? Atau kerja keratif bersumber dari ‘keinginan’? atau barang kali keterpaksaan?

Ketika zaman kerajaan kita mengenal istilah ‘pujangga’ tepatnya ‘pujangga keraton’. Merekalah manusia-manusia yang melakoni ritus kerja kreatif. Dari mereka kita dapat bernostalgia dengan masyarakat dalam ruang budaya dan sosial pada zamannya. Tak sebatas pada proses kreatif, ritus para pujanga keraton menduduki posisi vital. Fragmen ini tidak lepas dari kedudukan karya sastra sebagai alat legitimasi para penguasa, yang tidak lain ialah para raja. Visualisasi sosok raja ideal dalam sebuah karya melalui untaian kata bertujuan menjaga kepatuhan para kawula --rakyat jelata-- terhadap penguasa --raja--. ‘Kepatuhan’ akan meminimalisir rongga konflik antara rakyat jelata dengan penguasa dalam dunia sosial yang penuh gejolak. Walaupun, di dalam karya-karya itu kerap ada ngangahan kesemuan sosial dan budaya. Ngangahan itu muncul karena bangunan mitos dalam ruang sosial dan budaya dalam sebuah karya.

Ritus Kepengarangan Pramoedya Ananta Toer

‘Jawa’, nampaknya menjadi lakon tersendiri buat Pram. Lahir di Jawa dari keturunan Bapak dan ibu Jawa. Dari masa kanak-kanak hingga remaja dihabiskan di Jawa, tepatnya di kota kecil Blora. Pergulatan Pram dengan Jawa, baik secara fisik maupun ruh, menjadikannya tak mudah melepaskan ke-jawa-annya. Persinggungan dengan Jawa mengantarkannya dalam antipati terhadap budaya feodal. Pram sangat menolak keras feodalisme, apapun bentuknya. Pengalamannya dengan “Jawa’, yang melahirkan gandrung maupun antipati, cukup kentara diawal-awal proses kreatifnya. Hingga dalam suatu fase hidupnya, Pram mengalami krisis Jiwa yang sangat dahsyat, dan mengantarkannya kembali pada ‘Jawa’. Seperti memoar kecil yang ditulisnya dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang dengan judul ‘Perburuan dan Keluarga Gerilya’.

Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi. Kembali jadi javanis? Buku Jawa tulisan Pak Poeh itu sejak tahun 1940 telah mengisarkan otakku dari metafisika, dan lebih banyak memperhatikan rasio sebagai penunggang dan daging sebagai kuda yang harus dikendalikan. Masa baru 8 tahun sudah terjerembam dalam atavisme? Apa itu tidak memalukan? Tapi jalan hidup yang telah ditentukan dan ditempuh itu buntu. Dengan patiraga itu si kawula datang pada sang Gusti: inilah diriku, kukembalikan semua kepada-Mu; ambilah semua, bunuhlah kawula ini sekarang juga kalau memang sudah tidak berguna bagi kehidupan. Ya, memang sengaja aku hendak bunuh diri dengan patiraga(Pamusuk Eneste, 2009:2).”

Renik itu berkisah mengenai Pram dalam melakoni patiraga ketika menemui krisis jiwa. Harapan Pram untuk mati ternyata belum terpenuhi. Suguhan jiwa seorang kawula kepada Gusti ternyata tak menuju pada alam baka, melainkan ‘perlawanan’ untuk realitas. Penghambaan Pram sebagai kawula itu ditebusnya dengan kemerdekaan terhadap dirinya sendiri. Ledakan kerja kreatif terjadi pada Pram, dan lahirlah anak rohaninya berupa tulisan-tulisan yang menempuh jalannya sendiri. Itulah Pram, kerja kretif tak sebatas pada otak dalam bingkai ‘berpikir’ dan ‘imajinasi’, melainkan sebuah penghambaan kawula kepada Gusti-nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun