Mohon tunggu...
Udik Fajar
Udik Fajar Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Penulis merupakan pribadi yang gemar membaca dan mulai mengeksplorasi diri dengan menulis. Fokus utama pada bidang pembimbingan kemasyarakatan menjadi bidang yang sangat diminati oleh penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Berkaca pada "The Dutch Probation", Mewujudkan Masyarakat Sinergis dan Integratif

29 Mei 2024   07:37 Diperbarui: 29 Mei 2024   07:47 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sedang mempersiapkan diri menyambut transformasi hukum pidana setelah sekian lama menggunakan KUHP warisan kolonial. Dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023, secara resmi Indonesia memiliki dasar aturan hukum pidana yang merupakan karya anak bangsa. Tentu saja proses panjang telah dilalui hingga undang-undang tersebut disahkan. Penggalian jati diri bangsa dan perakitan iklim sistem hukum pidana yang selaras dengan marwah bangsa sedang diejawantahkan.

Terdapat berbagai perubahan signifikan yang diakomodir oleh KUHP baru. Salah satu hal yang layak menjadi sorotan adalah diakuinya hukum adat yang selama ini seringkali diabaikan. KUHP baru mengatur tentang tindak pidana yang disesuaikan dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Pada pasal 2 Undang-Undang KUHP Nomor 1 tahun 2023 dijelaskan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan, dimana ketentuan tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang KUHP.

Lebih lanjut, pada pasal 2 ayat (2) ditegaskan bahwa hukum adat yang dimaksud harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Selain itu, hukum adat tersebut juga harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Peraturan Daerah dimana eksistensinya didasarkan pada hasil penelitian empiris. Hal tersebut menegaskan bahwa terdapat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sehingga hukum adat tersebut diakui sebagai bagian dari hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Selain itu, atmosfir keadilan restoratif akan semakin kental diupayakan. Pada pasal 51 Undang-Undang KUHP ditegaskan bahwa pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Lebih lanjut pada pasal 54 dijelaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban. Hal-hal tersebut merupakan pondasi dari keadilan restoratif dimana fokus utama adalah pemulihan pada keadaan semula serta menghindarkan dari pembalasan. Adapun yang menjadi pertanyaan besar adalah "sudahkah komponen-komponen utama penopang peradilan pidana siap menyambut transformasi hukum pidana tersebut?"

Komponen Inti Pendukung Transformasi Pidana

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, terdapat 5 (lima) pilar aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat, dan juga Pemasyarakatan. Setiap pilar memegang peranan penting yang saling menyokong penegakan hukum. Berfokus pada pilar "Pemasyarakatan", terdapat salah satu komponennya yang memegang peranan penting yang eksistensinya ada mulai dari tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga pasca-ajudikasi. Komponen tersebut adalah Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan adalah Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap klien, baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

Berdasarkan KUHP baru, setidaknya terdapat 4 (empat) peran Pembimbing kemasyarakatan, yaitu pertama, peran dalam hal penanganan terhadap pelaku tindak pidana anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun (Pasal 41). Kedua, peran dalam hal Pidana Pengawasan (Pasal 75). Ketiga, peran dalam hal Pidana Kerja Sosial (Pasal 85), serta keempat, peran dalam pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan (Pasal 85). Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022, Klien Pemasyarakatan baik dewasa maupun anak berhak mendapatkan program pembimbingan pada tahap praadjudikasi, adjudikasi, pascaadjudikasi, dan bimbingan lanjutan. Tentu saja pembimbingan ini merupakan tugas dari pembimbing kemasyarakatan. Lantas, sudah siapkah pembimbing kemasyarakatan berperan secara optimal?

Tantangan dan Hambatan Pembimbing Kemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan (Bapas) merupakan unit pelaksana teknis di bawah naungan divisi pemasyarakatan kantor wilayah hukum dan HAM yang menjadi naungan pembimbing kemasyarakatan. Bapas tersebar di berbagai Kota dan Kabupaten di seluruh Indonesia. Jauh sebelum Undang-Undang KUHP dan Pemasyarakatan yang baru, peran signifikan Bapas sudah dilibatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Begitu signifikannya peran Bapas, bahkan pada pasal 105 dijelaskan bahwa dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang SPPA, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas di Kabupaten/Kota. Faktanya hingga saat ini jumlah Bapas di seluruh Indonesia hanya mencapai 91 unit kerja. Adapun di Indonesia terdapat 416 Kabupaten dan 98 Kota. Jumlah tersebut merefleksikan betapa rendahnya secara kuantitatif serta betapa luasnya wilayah kerja seorang Pembimbing Kemasyarakatan.

Selain itu, permasalahan overcrowded nampaknya masih menjadi hal pelik dalam pemasyarakatan. Kondisi overcrowded yang terjadi di hampir seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia menyebabkan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan menjadi tidak optimal. Beban kerja seorang Pembimbing Kemasyarakatan menjadi semakin tinggi. Faktanya bagi pembimbing kemasyarakatan, masalah internal saja belum teratasi, apalagi harus menyambut transformasi pidana?

Berkaca pada The Dutch Probation (Pembimbing Kemasyarakatan Belanda)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun