Kehadiran investasi selama ini dianggap sebagai "mantra sakti" yang secara otomatis akan membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun tentu saja pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Ada banyak kota baru yang lahir karena terdongkrak oleh kehadiran perusahaan. Meski tidak jarang juga kita jumpai daerah yang kaya sumber daya alam tapi kondisinya masih cukup memprihatinkan. Bahkan untuk sekadar menikmati penerangan listrik saja masyarakat desa harus bersusah payah mendapatkannya.
Sebagian besar komunitas masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman sampai saat ini belum bisa merasakan manfaat kehadiran listrik PLN. Bagi mereka fasilitas listrik masih menjadi barang yang mewah, langka dan sangat sulit untuk didapatkan.
Dalam beberapa hal bisa dimaklumi, karena lokasi yang remote area, jumlah penduduk yang sedikit dan berpencar-pencar akan menyulitkan PLN untuk membuka jaringan sampai kesana.
Warga yang mampu bisa membeli panel listrik tenaga surya atau menggunakan genset secara mandiri sebagai sumber penerangan. Itupun maksimal hanya bisa mereka nikmati dalam jangka waktu beberapa jam saja.
Sedangkan warga yang kurang mampu terpaksa harus rela gelap-gelapan setiap malamnya sambil terus berharap adanya bantuan dari pihak pemerintah atau perusahaan.
Kondisi yang dihadapi oleh masyarakat desa-desa lingkar tambang berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di lingkungan kantor atau tempat tinggal karyawan perusahaan. Genset perusahaan bisa beroperasi selama 24 jam. Sehingga suplai listrik akan terus menyala siang dan malam tanpa harus khawatir terjadinya kekurangan pasokan daya.
Situasi kontras seperti inilah yang akan jadi pemicu munculnya kecemburuan sosial dari masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Sehingga pada akhirnya seringkali berujung pada aksi demonstrasi dari masyarakat yang menuntut adanya kepedulian dan bantuan dari perusahaan terhadap permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Masyarakat menilai perusahaan telah berlaku tidak adil, mengambil dan mengeruk kekayaan sumber daya alam setempat namun tidak mau peduli dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Memunculkan aksi demonstrasi yang mereka lakukan sejatinya adalah jalan pintas yang dipilih agar bisa segera mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan.
Tentu saja terjadinya aksi demonstrasi akan berdampak kurang baik terhadap kinerja perusahaan. Operasional perusahaan tidak akan berjalan optimal, karena manajemen akan disibukkan untuk menyelesaikan tuntutan dari masyarakat.
Bahkan, tak jarang operasional perusahaan harus terhenti total dalam jangka waktu beberapa lama sampai adanya kesepakatan antara ke dua belah pihak.
Sikap yang biasa diambil oleh perusahaan tambang dalam menyikapi tuntutan masyarakat tentunya sangat beragam, namun mayoritas biasanya akan memilih cara-cara instan yang dianggap bisa segera memadamkan api demonstrasi dan menyelesaikan persoalan saat itu juga. Dengan harapan operasional perusahaan yang sempat terganggu bisa kembali berjalan.
Karena tuntutannya soal penerangan, perusahaan akan meresponnya dengan memberikan bantuan dalam bentuk mesin genset. Bahkan ada juga yang plus dengan bantuan solarnya.
Solusi seperti ini biasanya akan berhasil untuk meredam permasalahan, tapi saat genset yang diberikan mengalami kerusakan atau suplai solar dianggap tidak mencukupi, lagi-lagi perusahaan akan direpotkan dengan tuntutan perbaikan genset atau pembelian tambahan solar.
Secara jangka pendek memang bisa menyelesaikan tuntutan masyarakat, namun secara jangka panjang menyimpan bara konflik yang setiap saat bisa muncul kembali kepermukaan.
Lalu bagaimana kacamata CSR dalam melihat permasalahan listrik desa yang dituntut oleh masyarakat desa?
Pertama, perusahaan tidak boleh menutup mata terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa. Apalagi dalam regulasi yang ada di Indonesia, setiap perusahaan ekstraktif diwajibkan pemerintah untuk mengalokasikan dana CSR.
Kedua, kepedulian perusahaan terhadap masyarakat seharusnya tidak perlu sampai diminta. Melalui tim CSR perusahaan bisa lebih pro aktif melibatkan diri dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.
Dengan begitu, potensi munculnya konflik dan gangguan terhadap operasional perusahaan bisa terdeteksi sejak dini dan bisa langsung diselesaikan.
Ketiga, kepedulian yang diberikan perusahaan harus benar-benar menjadi solusi yang bisa menyentuh akar permasalahan mendasar yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Pendekatan instan atau bantuan jangka pendek yang bersifat karikatif semata bukan hanya tidak akan menjadi solusi secara jangka panjang, namun juga akan menimbulkan ketergantungan yang tinggi sekaligus mengajarkan kepada masyarakat jika ingin tuntutannya dipenuhi oleh perusahaan, maka mereka harus "melakukan ancaman" terhadap perusahaan. Â
Keempat, perlu ada keterlibatan aktif dari semua pihak, baik perusahaan, masyarakat atau pemerintah daerah setempat. Tidak bisa pencarian solusinya hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja, misalnya saja perusahaan. Dengan adanya sinergitas antara semua pihak, maka beban permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi lebih ringan untuk diselesaikan.
Dalam kasus penerangan desa, pemberian mesin genset sebenarnya masih bisa dibenarkan dengan beberapa catatan. Akan sangat baik kalau ada kolaborasi biaya pembelian genset antara pemerintah dengan perusahaan. Pemdes mengalokasikan sebagian dana desa, sedangkan perusahaan mengalokasikan dari dana CSR.
Untuk memastikan genset yang sudah dibeli bisa dikelola dengan baik, perusahaan bisa meminta pemerintah desa membentuk Bumdes PLTD sebagai pengelola genset.
Nantinya pihak perusahaan bisa memberikan pembekalan kepada para pengelola Bumdes tersebut, baik melalui pelatihan teknis operasional genset atau pelatihan manajemen pengelolaan genset. Sehingga para pengelola Bumdes menjadi tenaga-tenaga terampil yang benar-benar siap dan mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengelola PLTD dengan baik.
Masyarakat desa sebagai penerima manfaat dari listrik bisa ikut dilibatkan juga dengan cara penarikan iuran bulanan. Iuran tersebut yang nantinya dialokasikan untuk pembelian solar, perawatan genset dan gaji para pengelola.
Dengan seperti itu akan muncul rasa tanggungjawab dari semua pihak untuk menjaga genset jangan sampai rusak.
Di luar pemberian genset, sebenarnya masih ada banyak alternatif lain yang bisa dipilih perusahaan dalam membantu penerangan masyarakat desa.
Misalnya saja melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan memanfaatkan potensi air terjun atau air sungai yang terdapat di sekitar desa. Selain lebih ramah lingkungan, pengembangan mikro hidro membuat beban pengeluaran masyarakat untuk listrik jauh bisa lebih hemat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H