Orang Gila Menang Dalam Pilkada
Presiden Prabowo Subianto kembali menggulirkan wacana agar pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD. Saya sebagai bagian dari masyarakat sangat mendukung gagasan ini, setidaknya sebagai langkah sementara sambil memperbaiki berbagai instrumen untuk memastikan pelaksanaan Pilkada yang benar-benar jujur, adil, dan bebas dari kecurangan.
Dalam pidatonya pada peringatan HUT ke-60 Partai Golkar (12 Desember 2024) di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat, Presiden Prabowo berargumen bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat menghemat uang negara.
Namun, menurut pandangan saya, persoalannya tidak hanya sebatas penghematan anggaran. Ada hal yang jauh lebih penting dan mendesak, yakni moralitas demokrasi yang semakin terdegradasi. Politik uang yang semakin masif dan brutal telah menjadi momok sejak Pilkada langsung diterapkan. Fenomena ini tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga mengancam integritas moral para pelaku politik serta masyarakat.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena dalam praktik Pilkada langsung, tidak jarang kita mendengar kabar bahwa kandidat dengan "uang lebih" justru lebih berpeluang memenangkan Pilkada, tanpa mempertimbangkan kompetensi atau integritasnya. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka yang dianggap "tidak layak" justru memenangkan kontestasi.
Sistem yang rusak ini harus segera diperbaiki. Pemilihan melalui DPRD, meskipun memiliki kelemahan, setidaknya dapat menjadi solusi sementara untuk menekan pengaruh buruk dari politik uang. Dengan catatan, sistem pengawasan dan akuntabilitas DPRD harus diperkuat agar mereka dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak menyalahgunakan wewenang.
Keputusan untuk kembali ke mekanisme lama ini bukanlah langkah mundur, melainkan sebuah upaya untuk menyelamatkan demokrasi dari kehancuran moral yang semakin nyata. Jika dibiarkan, kita hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak berkompeten dan mengorbankan masa depan bangsa. Semoga gagasan ini menjadi langkah awal menuju demokrasi yang lebih bermartabat.
Ajang Pesta Pora Para Elit Parpol
Meski Pilkada memungkinkan calon maju melalui jalur independen, tingginya biaya tetap menjadi kendala utama. Untuk menggalang dukungan masyarakat saja, pengeluaran besar sulit dihindari. Mayoritas masyarakat enggan memberikan tanda tangan dan KTP secara cuma-cuma sebagai bentuk dukungan. Sebagai gambaran, untuk mengumpulkan dukungan minimal, biaya administrasi bisa mencapai Rp 2 miliar.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 telah mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi kini dapat mencalonkan kepala daerah, asalkan memenuhi persyaratan perolehan minimal 20 persen dari total suara sah dalam pemilu DPRD di daerah tersebut. Namun, tetap saja ada mekanisme administratif berupa rekomendasi dukungan dari partai politik yang harus dipenuhi.