Sejak hari pertama PSBB hingga saat ini kedisiplinan masyarakat tidak ada perbedaan antara adanya pelaksanaan PSBB dan tidak. Jalan raya masih ramai, industri masih pada buka, pengetatan atau kekhususan bagi 18 kecamatan juga tidak ada. Penyebabnya karena pelaksanaan PSBB Cianjur tidak berperbup.
Semua daerah yang saat ini melaksanakan PSBB membuat Peraturan Bupati/Walikota sebagai pedomannya dan Keputusaan Bupati/Walikota sebagai dasar waktu pelaksanaannya. Kabupaten Cianjur hanya membuat Keputusan Bupati yaitu Kepbup No. 443/Kep.201-Huk.2020 tentang Pemberlakuan PSBB di Kabupaten Cianjur. Dalam Kepbup itu tidak tercantum Perbup Cianjur sebagai dasar pelaksanaan PSBB.
Tim Gugus Lapangan Gagap
Tidak adanya Perbup inilah yang kemudian membuat petugas di lapangan menjadi gagap. Apa yang harus mereka lakukan. Sementara detil-detil pelaksanaan di lapangan, tidak ada dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 36 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB di Wilayah Jawa Barat.
Misalnya, mengenai PSBB Parsial, bagaimana tekhnis pelaksanaan untuk 18 Kecamatan itu, apakah pengetatan perbatasan tiap kecamatan, adanya test masal, pemberlakuan sanksi yang lebih tegas, bagaimana pengaturan Bansosnya di 18 Kecamatan itu dan lainnya.
Ini semua diatur dan ditetapkan dalam Perbup, sebagaimana perintah Pergub No. 36 Pasal 3 ayat 5 bahwa koordinasi, pengerahan sumber daya dan operasional pelaksanaan PSBB diatur oleh Bupati/Wali Kota.
Pasar dan tempat belanja, masuk dalam kategori pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Dalam Pergub 36 Pasal 11 sampai 13, tidak ada pengaturan jam buka dan tutup, toko apa saja yang boleh buka dan tidak. Ini diatur dalam Perbup, seperti amanat Pasal 11 ayat 4, Bupati/Wali Kota dapat menambahkan kategori kegiatan penduduk yang dikecualikan dari larangan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dan mengaturnya secara teknis, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan pembatasan aktivitas bekerja. Pergub 36 Pasal 7 dan 8, belum mengatur apakah Kantor Notaris masuk kategori yang libur atau buka, kemudian bagaimana pimpinan tempat kerja diwajibkan melaksanakan pencegahan penyebaran Covid-19 dengan melakukan test masal di tempat kerjanya, dan wajib memberikan perlindungan kepada pekerja yang terpapar Covid-19.
Lalu jenis industri apa saja yang boleh buka dan bagaimana pengaturan jam kerja serta shiftnya, apa sanksinya bagi industri yang melanggar, bagaimana proses koordinasi dan komunikasi bagi perusahaan yang akan melakukan pengurangan buruh.
Kemudian mereka yang berimunitas rendah pun belum ada larangan boleh tidaknya berkeliaran, padahal ini termasuk kategori rawan ditulari.
Ini semua perlu diatur dalam Perbup, sebagaimana amanat Pergub 36, Pasal 8 ayat 6, Bupati/Wali Kota dapat menambahkan kategori tempat kerja/kantor yang dikecualikan dari penghentian sementara aktivitas bekerja, dan menetapkan pengaturan teknis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penerapan sanksi juga belum maksimal, karena memang tekhnis penerapan sanksi dan sanksi apa saja yang harus diterapkan oleh tim Gugus dan Gakum di lapangan tidak ada. Terkait penerapan sanksi, Pergub 36 hanya satu Pasal 26 yaitu pelanggaran terhadap pelaksanaan PSBB dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dibutuhkan Perbup untuk mendetilkannya.
Perbup tentang Pedoman PSBB mengatur secara rinci bagaimana penegakkan hukum atas pelaksanaan PSBB ini. Bagaimana dan kepada siapa menerapkan teguran lisan, peringatan tertulis, pengamanan barang dan/atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran, pembubaran kerumunan, penghentian sementara kegiatan, pembekuan izin, sampai pencabutan Izin dan tindakan lainya yang tujuannya untuk menghentikan pelanggaran PSBB.
Tak kalah penting, kejelasan parameter dan aturan bagaimana penentuan PSBB itu diperpanjang atau tidak melalui Keputusan bupati.
Sementara Pasal 24, Pergub 36 menyebutkan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan PSBB dilakukan dalam rangka menilai keberhasilan pelaksanaan PSBB dalam memutus rantai penularan Covid-19 yang dilakukan oleh Gugus Tugas Kabupaten/Kota melalui pemantauan atau pemeriksaan ke lapangan berdasarkan kriteria pelaksanaan PSBB sesuai dengan Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Wali Kota. Kalau Perbupnya tidak ada mau bagaimana?
Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Permendagri No. 120 tahun 2018 menyebutkan, kepala daerah menetapkan Perkada berdasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Terkait pelaksaan PSBB salah satu acuanya PP No. 21 tahun 2020, Pasal 6 ayat 4 menyebutkan apabila menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyetujui usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Kepala Daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan PSBB. Maka Kepala daerah harus membuat Peraturan sebagai dasar pelaksanaanya.
Peraturan Bupati (regelen) yang mengatur bagaimana pedoman pelaksanaanya di lapangan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing Kabupaten.
Sementara Keputusan Bupati (beschikking) yang mengatur waktu pelaksanaan PSBB, mewajibkan masyarakat mematuhi peraturan PSBB, dan boleh atau tidaknya perpanjangan masa PSBB.
Perbup tentang PSBB itu mutlak harus ada jika ingin PSBB ini berhasil sesuai maksud dan tujuannya. Tidak akan terjadi overlaping, sebab lebih kepada mengatur tekhnis pelaksanaan PSBB dan menjalankan perintah Pergub 36.
Secara hierarkis pembentukan peraturan perundangan memang Perbup PSBB ini perintah peraturan di atasnya, sama halnya dengan Pergub 36, tidak harus ada Perda Jabar tentang PSBB dulu. Malah jika tidak membuat Perbup, terindikasi kuat tidak menjalankan perintah peraturan perundang-undangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H