Mohon tunggu...
Asep Sumpena
Asep Sumpena Mohon Tunggu... Auditor - Suka mengamati

Suka hal-hal sederhana yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Secangkir Kopi Karuhun

6 Juni 2016   09:13 Diperbarui: 6 Juni 2016   09:24 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya Asep Sumpena No. 24

Garut, suatu malam Jumat di tahun 1975.

Aroma kemenyan menyeruak dari arah belakang rumah, bau harum sepekan sekali yang tidak asing ini menghadirkan suasana mistis dan ribuan de javu berkelebatan, rasanya dunia terdiam beberapa saat menenggelamkanku ke dalam keterasingan yang aneh.

Asap aromatik dari getah tumbuhan genus Boswellia ini menuntunku untuk berjalan ke bagian belakang rumah panggung itu. Dengan mengendap-endap kuikuti sumber asap wangi tadi, di pojok dapur terlihat ada celah pintu terbuka sedikit yang menyemburatkan gabungan cahaya temaram dan asap bergumpal-gumpal.

Aku berusaha dengan keras agar tubuh ini seringan kapas, supaya langkah-langkahku tidak menghasilkan derit yang sedih dari lantai palupuh bambu ini. Dari celah berasap yang sekarang nampak semakin pekat itu, kupicingkan mataku supaya lebih jelas melihat ke arah dalam. Nampak Bunda duduk tepekur berkomat-kamit merapal doa-doa.  Karena terhalang oleh punggungnya, aku tidak bisa melihat apa yang terdapat di hadapan beliau, hanya asap yang membumbung dan ketemaraman yang bias.

Karena rasa penasaran bocah laki-laki, aku bersembunyi di seberang pintu itu dibalik gundukan berkas-berkas ikatan padi ketan yang belum ditumbuk. Aku menahan nafas dan menunggu Bunda selesai dengan ritualnya.

Ketika pintu itu terbuka dan Bunda meninggalkan goah tempat menyimpan beras itu, menuju ke ruang depan. Aku melangkah dengan pelan dan memasuki ruang itu. Nampak parupuyan tanah liat berisi bara dari kulit buah kelapa, ditengahnya segumpal kecil kemenyan mendidih dan mengeluarkan asap membumbung. Di sekitar ada senampan sesajian dan secangkir kopi hitam.

Kucomot salah satu sajian, berupa potongan melintang pisang mas yang dibaluri oleh irisan gula aren, ku nikmati pelan-pelan sungguh manis dan legit. Ada rasa kagum yang terpancar kepada para karuhun atas sajian makanan yang enak ini. Lalu kucecap gelas kopinya dan rasanya pahit! Saat itu, aku tidak mengerti mengapa para karuhun menyukai kopi tanpa gula. Sepengatahuan kami sesajian adalah makanan dan minuman kesukaan karuhun di masa hidupnya, disajikan dengan doa sebagai penghormatan.

***

Batam, menjelang Imlek di tahun 2016.

Dalam rintik hujan yang menurunkan suhu udara dari kegerahan total ke tingkat nyaman untuk makhluk berjenis manusia, aku duduk menatap dedaunan yang ceria ditimpa air hujan. Ditemani secangkir kopi hitam dari Toko Ek Bouw Garut, kiriman dari adik kemarin, dan tergolek pasrah beberapa potong pisang goreng.

Tiupan asap dupa dari tetangga yang bermarga Tionghoa, aromanya yang bercampur dengan uap harum kopi hitam menebarkan angan purba yang belum terpahami sebelumnya. Kucecap pelan kopi pahit itu dan keselingi dengan kunyahan pisang goreng. Pahit dan manis paduan kedua jenis makanan ini menghasilkan suatu rasa yang melambangkan dinamika kehidupan.

Kupahami kehidupan ini adalah menjalani manis dan pahitnya perjalanan - perjuangan. Serta menghormati keragaman. Seperti tetangga Tionghoaku ini yang sering bersembahyang menghormati orang tua yang telah berpulang, menghormati leluhur mereka. Dengan khusuk dalam soja dan asap wangi dupa.

Gabungan kata  hormat dan leluhur berpadu dengan asap dupa dan uap kopi ditemani rasa manis pisang, semua itu telah melelehkan bungkus ketidakmengertian dari pengalaman lama yang kini terbuka kembali dengan jelas dan terang…

***

 Semenjak kecil aku adalah penikmat kopi, walau tidak rutin meminumnya. Namun saat mencecap rasa pahit dari kopi dan manis dari gula dalam larutan suspensi di dalam media air panas, aku merasakan kehangatan keluarga. Ya, karena pengalaman masa lampau dimana setiap ada pertemuan keluarga selalu terhidang kopi hitam, hangat dan manis!

Dengan bertambahnya usia dan berubahnya pola hidup aku berusaha untuk mengurangi kadar gula dalam setiap makanan dan minuman yang aku nikmati. Berhubung cukup susah menghentikan makanan manis akhirnya aku membuat peraturan untuk diriku sendiri yakni dilarang menambahkan gula untuk minuman yang aku buat.

Pertama kucoba untuk minuman teh, mengubah minum teh manis menjadi tawar tidak terlalu kesulitan karena sebagai Urang Sunda yang minuman sehari-hari masa kecilnya adalah air teh tawar dan bukannya air bening.

Namun mengubah minuman kopi manis menjadi kopi pahit adalah perubahan yang susah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah mempelajari berbagai literatur dan berdasarkan pengalaman pribadi serta orang lain akhirnya aku membuat kesimpulan. Kuyakini bahwa yang membuat minuman kopi tidak sehat bukan karena kopinya namun karena gulanya. Setelah membuat kesimpulan yang kuyakini tadi, maka akhirnya aku bisa minum kopi tanpa gula.

***

Dengan jelas tergambar betapa luar biasanya para karuhun itu, semenjak masa lampau sudah membiasakan pola hidup sehat yakni mencecap kopi pahit tanpa gula. Akhirnya aku mendapat pelajaran dari sesajian itu, bukan klenik atau ritual. Namun mengapa karuhun patut dan telah dihormati karena telah mewariskan sesuatu yang baik buat keturunannya. Salah satunya adalah dengan menerapkan pola hidup sehat, makanan organik dan kopi pahit.

***

Keterangan:

Karuhun = leluhur

Parupuyan = wadah untuk membakar kemenyan

Palupuh = lantai yang terbuat dari bambu yang dibelah dan dikepruk

Goah = tempat penyimpanan beras dan bahan makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun