Kreativitas di Tengah Kekacauan: Mengapa Einstein, Ramanujan, dan 'Istri Cerewet' Adalah Katalis Hebat
Prolog
"Aa, kamu udah ngopi belum? Jangan kelamaan mikir, nanti kepala panas!" Suara itu datang seperti biasa, penuh perhatian, tapi dengan nada yang menggigit. Tidak terlalu lembut, tidak pula keras, cukup untuk memecah konsentrasi yang sejak tadi mati-matian aku bangun.
Aku mendesah pelan sambil menatap layar laptop yang belum juga menghasilkan apa-apa. "Iya, iya... bentar lagi." Jawabanku seperti gumaman yang lebih ditujukan untuk menenangkan diriku sendiri, bukan dia. Tapi nyatanya, kalimat sederhana dari istriku itu, entah bagaimana, justru mulai membangkitkan ide-ide yang tadinya tersembunyi di sudut kepala.
"Kamu udah makan? Jangan kelaperan, nanti otaknya nggak nyambung!" tambahnya lagi, kali ini sambil beranjak ke dapur.
Aku menyeringai kecil. "Iya, Bu Bos. Lapor nanti kalau kelar."
Lucu. Gangguan kecil seperti ini, yang kadang membuatku ingin marah atau minta ruang lebih tenang, ternyata malah menjadi semacam pemicu. Suaranya yang cerewet, sebuah istilah yang kuucapkan setengah bercanda, setengah serius, seakan menciptakan riak kecil di kolam pikiranku yang tenang, mendorong gelombang ide bergerak, memecahkan kebekuan.
Namun, pernah suatu waktu istriku tidak ada di rumah. Suasana sunyi, nyaris sempurna. Tidak ada suara langkah kakinya, tidak ada komentar tajam penuh perhatian, bahkan tidak ada gangguan kecil yang biasa membuatku menoleh sejenak dari layar. Hening total.
Kupikir inilah momen yang ideal. Kesempatan emas. Tapi apa yang terjadi? Otakku malah membeku. Aliran ide yang seharusnya mengalir deras malah terasa kering, seakan tenggelam dalam genangan kesunyian. Tak ada riak, tak ada gerakan.
Saat itu aku sadar, ketenangan bukanlah jawaban, dan kebisinga, betapapun menjengkelkannya, mungkin adalah katalis paling berharga.
Hari itu, ketika istri pulang dan kembali "mengganggu" dengan komentar kecilnya, aku hanya tersenyum. "Kamu itu, cerewetnya kok nggak habis-habis," ujarku, setengah menggoda.
Dia melirik tajam sambil tersenyum sinis. "Biar kamu nggak kebanyakan bengong!"
Dan benar saja. Tidak lama setelah itu, jari-jariku mulai mengetik. Ide-ide itu kembali mengalir deras, seperti sungai yang menemukan alurnya.