Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendefinisikan Kembali Masa Depan Ekonomi Indonesia

30 November 2024   13:24 Diperbarui: 30 November 2024   18:08 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pendahuluan

Berkunjunglah ke Tangerang. Coba jalan-jalan ke daerah Jatake, Cikupa, Balaraja, Manis, Serpong, dan Batu Ceper, kita akan melihat pemandangan pabrik-pabrik yang kini suram, suara mesin manufaktur kian redup, dan angkot-angkot kosong ke jurusan tersebut bahkan pada jam-jam masuk atau keluar kerja. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dari 22% pada 2014 menjadi hanya 19% pada 2023. 

Sementara China dan Amerika Serikat, dua raksasa ekonomi dunia, telah melangkah lebih jauh. Mereka mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) dan robot humanoid dalam lini produksi mereka. Dengan teknologi ini, mereka mampu menghasilkan produk dengan biaya rendah, kualitas prima, dan ketersediaan stok yang tak pernah habis. Akibatnya, pasar Indonesia dibanjiri oleh produk impor, mulai dari elektronik hingga tekstil, menghancurkan daya saing manufaktur lokal.

Di sudut-sudut pabrik yang mulai ditinggalkan, debu perlahan menggantikan hiruk pikuk mesin. Ribuan buruh pabrik kehilangan pekerjaan. Pada 2023, lebih dari 300 ribu pekerja terkena PHK, jumlah yang mencerminkan krisis ekonomi mendalam. Tingkat pengangguran juga melonjak menjadi 5,86%, menciptakan gelombang masalah sosial yang sulit diatasi. Namun, angka-angka ini hanyalah permukaan dari kenyataan pahit. Di baliknya, ada kisah pilu keluarga-keluarga yang kehilangan mata pencaharian, generasi muda yang memasuki dunia kerja tanpa harapan, dan perekonomian yang berjalan di tempat.

Sementara itu, dunia terus berlari. Negeri ini tertinggal dalam revolusi industri berbasis AI. Ketika kita mulai menyadari keharusan untuk bertransformasi, semuanya sudah terlambat. Kekayaan plasma nutfah kita telah habis dicuri oleh bangsa lain, hutan-hutan kita terdegradasi tanpa pemanfaatan strategis, dan ekosistem laut kita rusak karena limbah industri. Biodiversity tumbuhan dan satwa yang dahulu menjadi kebanggaan dan bisa menjadi kekuatan ekonomi alternatif punah.

Keadaan ini adalah peringatan. Jika kita terus bergantung pada sektor manufaktur tradisional, tanpa strategi untuk bertransformasi, Indonesia akan tetap menjadi pangsa pasar dunia, tetapi bukan pemainnya. Apakah kita akan terus menjadi konsumen tanpa kekuatan produksi, atau kita akan bangkit untuk mengambil kendali masa depan kita?

Transformasi ekonomi menjadi kebutuhan mendesak. Indonesia membutuhkan sektor baru yang tidak hanya menjanjikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menyerap tenaga kerja, menciptakan nilai tambah, dan memanfaatkan kekayaan alam negeri ini. SynBio (Biologi Sintetis), teknologi masa depan yang memadukan biologi dan rekayasa genetika, bisa menjadi kunci kebangkitan ekonomi Indonesia.

Apa itu SynBio?

Bayangkan sebuah teknologi yang memungkinkan kita menciptakan bahan bakar dari mikroba, memproduksi vaksin secara cepat, menyerap karbondioksida, menghasilkan energi, atau bahkan menciptakan plastik ramah lingkungan yang terurai dengan cepat di alam. Itulah biologi sintetis. SynBio menggunakan prinsip-prinsip biologi, kimia, dan teknik komputer untuk merancang dan menciptakan sistem biologis baru.

Sejarah SynBio dimulai pada awal 2000-an, saat para ilmuwan berhasil memprogram DNA seperti kode komputer. Hari ini, SynBio telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran dolar dengan aplikasi di bidang pangan (daging hasil laboratorium), kesehatan (vaksin mRNA), energi (biofuel), hingga lingkungan (mikroba pembersih limbah).

Potensi SynBio bagi Indonesia

Indonesia, dengan kekayaan hayati yang luar biasa, memiliki modal besar untuk menjadi pemain utama di pasar SynBio global. Hutan hujan tropis kita adalah rumah bagi 10% spesies tumbuhan dunia, dan laut kita menyimpan lebih dari 25% spesies terumbu karang global. Kekayaan ini adalah tambang emas bagi SynBio, yang sangat bergantung pada keanekaragaman hayati sebagai sumber daya genetik.

Pasar SynBio global diproyeksikan mencapai $70 miliar pada 2030, dengan pertumbuhan di sektor pangan berbasis laboratorium dan biofarmasi. Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini dengan memproduksi enzim industri, probiotik, dan bahan bioaktif yang diminati dunia.

Tantangan Pengembangan SynBio di Indonesia

Namun, jalan menuju kejayaan SynBio tidaklah mudah. Indonesia menghadapi sejumlah tantangan:

1. Kurangnya Infrastruktur Riset: Hanya sedikit institusi yang memiliki fasilitas untuk riset lanjutan di bidang bioteknologi.
2. Keterbatasan Pendanaan: Investasi untuk SynBio masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti AS dan China.
3. Regulasi yang Belum Memadai: Aturan terkait riset genetika dan bioteknologi di Indonesia masih minim dan sering kali menghambat inovasi.
4. Tantangan Sosial dan Etika: Beberapa kelompok masyarakat masih meragukan keamanan dan etika produk SynBio.

Strategi Pengembangan SynBio di Indonesia

Mengatasi tantangan ini memerlukan langkah strategis:

a. Investasi dalam Riset dan Inovasi: Pemerintah perlu mengalokasikan dana khusus untuk pembangunan laboratorium dan pelatihan peneliti.
b. Ekosistem Inovasi: Sinergi antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem inovasi yang mendukung SynBio.
c. Kampanye Edukasi Publik: Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat SynBio, mengatasi ketakutan, dan membangun dukungan publik.
d. Regulasi Progresif: Membentuk kebijakan yang mendukung inovasi tanpa mengabaikan aspek keamanan dan etika.

Pasar SynBio Dunia

Amerika Serikat telah menunjukkan bagaimana SynBio bisa menjadi motor ekonomi. Perusahaan seperti Ginkgo Bioworks dan Moderna telah menciptakan produk-produk bernilai tinggi, mulai dari vaksin hingga biofuel. China juga telah memanfaatkan SynBio untuk meningkatkan efisiensi produksi pangan dan energi.

Indonesia dapat belajar dari mereka, memanfaatkan kekayaan biodiversitas untuk menciptakan produk unik yang diminati pasar global. Sebagai contoh, mikroba endemik dari hutan Kalimantan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan bioenzim inovatif.

Kesimpulan dan Epilog

SynBio bukan hanya tentang teknologi; ia adalah peluang untuk mendefinisikan kembali masa depan ekonomi Indonesia. Dalam bayangan pabrik-pabrik yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi kita, kini saatnya membangun laboratorium yang menjadi sumber inovasi baru. Dengan kekayaan hayati yang kita miliki, Indonesia tidak perlu sekadar menjadi penonton dalam revolusi SynBio.

SynBio adalah pintu menuju ekonomi yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan inklusif. Tetapi waktu adalah musuh. Jika kita tidak bergerak cepat, peluang ini akan direbut oleh negara lain. Maka, saatnya kita bertanya: Apakah kita akan menjadi bangsa yang hanya bermimpi tentang masa depan, atau bangsa yang berani menciptakan masa depan itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun