Metode HOS Cokroaminoto dan Relevansinya dengan Kurikulum Merdeka.
Pada sebuah sore di awal abad ke-20, di rumah sederhana di Surabaya, seorang guru besar sedang duduk bersama murid-muridnya. Dia bukan seorang guru biasa. Dia adalah Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam yang saat itu menjadi motor pergerakan nasional. Di hadapannya, murid-murid dengan latar belakang beragam berkumpul, mendengarkan, berdiskusi, bahkan berdebat tentang ideologi dan masa depan bangsa.
Tidak ada buku teks wajib. Tidak ada aturan yang memaksa mereka untuk berpikir dengan cara tertentu. Di ruang itu, hanya ada kebebasan untuk bertanya, mencari, dan menemukan kebenaran menurut pemikiran masing-masing.
Cokroaminoto tidak menggurui. Dia memantik diskusi. Baginya, pendidikan adalah proses menggali potensi murid, seperti yang dikatakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed: "Pendidikan sejati terjadi ketika ada dialog, bukan indoktrinasi." Maka, dalam ruang itu, diskusi menjadi jalan menuju kebebasan berpikir.
Hasilnya? Murid-muridnya berkembang menjadi tokoh-tokoh besar dengan ideologi yang berbeda. Soekarno memilih jalur nasionalisme. Semaun mendalami komunisme, sementara Kartosuwiryo memilih jalan Islam politik. Ketiganya tumbuh dari akar yang sama tetapi berkembang menjadi pohon yang berbeda cabangnya.
Kebebasan dan Tantangan Kurikulum Merdeka
Lebih dari seratus tahun setelah era Cokroaminoto, Indonesia meluncurkan Kurikulum Merdeka, sebuah sistem pendidikan yang menawarkan kebebasan kepada siswa untuk memilih jalur belajar sesuai minat, bakat, dan kebutuhan mereka. Semangat kebebasan ini mirip dengan metode yang diterapkan Cokroaminoto: memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan jati diri mereka.
Namun, kebebasan ini datang dengan tantangan. Jean Piaget, dalam teori cognitive development-nya, mengingatkan bahwa pemahaman siswa berkembang secara bertahap, sesuai tahap kognitif mereka. Jika kebebasan diberikan tanpa pendampingan yang tepat, siswa yang belum matang secara kognitif mungkin akan mengalami kebingungan atau bahkan kehilangan arah.
Selain itu, teori habitus Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial siswa. Dalam konteks Indonesia, di mana kesenjangan sosial dan akses pendidikan masih menjadi masalah, kebebasan dalam Kurikulum Merdeka bisa menjadi pisau bermata dua. Anak-anak dari keluarga yang tidak mendukung pembelajaran mandiri mungkin tertinggal dibandingkan mereka yang berasal dari lingkungan yang lebih mendukung.
Keunggulan Metode Cokroaminoto
1. Menumbuhkan Kemandirian Berpikir
Metode Cokroaminoto mencerminkan pendekatan konstruktivisme, seperti yang dijelaskan Lev Vygotsky: pembelajaran terjadi ketika siswa aktif membangun pengetahuan mereka sendiri. Murid-murid Cokroaminoto tidak hanya diajarkan, tetapi diajak untuk mencari, bertanya, dan berdialog.
2. Menghargai Keberagaman
Cokroaminoto tidak melihat perbedaan pandangan sebagai ancaman, tetapi sebagai kekayaan. Ini relevan dengan gagasan pluralisme John Stuart Mill, yang menyatakan bahwa keberagaman ide diperlukan untuk mendorong kemajuan intelektual.
3. Relevan dengan Kehidupan Nyata
Sejalan dengan teori pragmatisme pendidikan ala John Dewey, metode Cokroaminoto menekankan relevansi pembelajaran dengan masalah nyata. Diskusi tentang ideologi dan politik pada masa itu tidak hanya menjadi teori, tetapi juga refleksi dari kenyataan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia.
Kelemahan Metode Cokroaminoto
1. Rentan terhadap Perpecahan
Seperti yang terlihat dari murid-muridnya, kebebasan berpikir yang tanpa arahan dapat melahirkan perbedaan pandangan yang ekstrem. Emile Durkheim, dalam konsep collective conscience, mengingatkan bahwa pendidikan harus tetap membangun kesadaran kolektif untuk menjaga kohesi sosial. Jika tidak, kebebasan ini justru bisa menjadi benih konflik.
2. Membutuhkan Guru yang Visioner
Tidak semua guru mampu menjadi fasilitator dialog yang baik. Teori zone of proximal development (ZPD) dari Vygotsky menekankan pentingnya peran guru sebagai "scaffolding" untuk membantu siswa melampaui batas kemampuan mereka. Tanpa guru yang kompeten, metode ini bisa kehilangan arah.
Penerapan Metode Cokroaminoto dalam Kurikulum Merdeka
Untuk membawa semangat Cokroaminoto ke dalam Kurikulum Merdeka, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Guru sebagai Fasilitator Dialogis
Seperti Cokroaminoto, guru dalam Kurikulum Merdeka harus menjadi fasilitator dialog, bukan pengendali pembelajaran. Mereka perlu menciptakan ruang diskusi di mana siswa bebas mengungkapkan ide tanpa takut salah.
2. Menanamkan Nilai-Nilai Dasar
Kebebasan berpikir harus tetap diimbangi dengan penanaman nilai-nilai Pancasila. Ini penting untuk mencegah kebebasan menjadi anarki, sebagaimana Durkheim mengingatkan pentingnya collective conscience.
3. Pembelajaran Kontekstual dan Proyek Nyata
Seperti Cokroaminoto yang membawa isu-isu nyata ke ruang diskusi, Kurikulum Merdeka harus mendorong pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang relevan dengan kehidupan siswa.
4. Pelatihan Guru Berbasis Humanis
Guru perlu dilatih dalam pendekatan humanis, sesuai gagasan Paulo Freire. Pendidikan harus dilihat sebagai proses pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan.
Penutup
HOS Cokroaminoto adalah bukti bahwa pendidikan sejati adalah tentang membebaskan, bukan mengendalikan. Inilah dia kisah guru yang menginspirasi. Sebuah teladan penting dan merupakan refleksi sejarah di Hari Guru. Namun, seperti yang diingatkan oleh banyak teori pendidikan, kebebasan dalam belajar membutuhkan pendampingan yang bijaksana.
Kisah Cokroaminoto memberikan pelajaran berharga bagi Kurikulum Merdeka: bahwa pendidikan bukan hanya tentang kebebasan, tetapi juga tentang tanggung jawab. Kebebasan berpikir yang ditawarkan harus diimbangi dengan penanaman nilai, pendampingan guru yang kompeten, dan relevansi dengan kehidupan nyata.Â
Dengan pendekatan ini, Kurikulum Merdeka dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan sosial. Seperti Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo, mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang berani mengambil jalan hidup mereka sendiri, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H