Sikap Filipina ini memang yang dekat ke Amerika memberikan nuansa sendiri terhadap percaturan kekuatan di Laut China Selatan. Hikmahanto Juwana dari Universitas Indonesia dalam artikelnya Ketegangan di Laut China Selatan (Kompas, 18/11) menyebutkan bahwa Menlu AS Hillary Clinton telah menunjukkan dukungan kepada posisi Manila.
Kedua negara telah menandatangani deklarasi "pendekatan berdasarkan aturan untuk penyelesaian klaim tumpang tindih di wilayah laut. Kesepakatan ini secara jelas menunjukkan agar konflik teritorial diselesaikan tanpa melalui jalur kekerasan alias jalur diplomasi, sesuatu yang mustahil terselesaikan.
Kekuatan militer biasanya akan menjadi penentu dari pemilikan wilayah karena China memiliki postur lebih besar daripada negara tetangganya. Oleh sebab itulah Beijing merasa lebih leluasa mendikte negara tetangganya yang kecil sehingga kehadiran Amerika akan mengganggu interaksinya dengan negara yang terlibat konflik wilayah laut.
Reaksi China Juru bicara Departemen Luar Negeri China, Liu Weimin dilansir Kompas (18/11), mengatakan ”Sebaiknya AS mempertimbangkan kekuatan-kekuatan regional lain jika mengembangkan hubungan di Asia. Kepentingan negara-negara lain dan kawasan, perdamaian dan stabilitas kawasan harus menjadi pertimbangan AS saat ingin mengembangkan hubungan antarnegara.”
Jika selama ini kehadiran militer Amerika di Okinawa, Jepang serta Pulau Guam tidak menjadi persoalan bagi Beijing, namun kehadiran Marinir tak jauh dari Laut China Selatan dan juga wilayah China menjadi sesuatu yang mengganggu.
Setelah perseteruan dengan Taiwan mereda dengan kehadiran pemerintahan pro Beijing dan rejim yang pro rekonsiliasi di Taipei kini Laut China Selatan menjadi titik penting bagi China. Mayor Jenderal Angkatan Udara AS Michael Keltz seperti dikutip stasiun berita CNN, 16 November 2011 dan dimuat Antara (18/11) mengatakan Presiden Obama tidak hanya menempatkan pasukan Marinir AS di Australia Utara, tetapi juga telah menyiagakan armada pesawat tempur tercanggih F-22 Raptor dan pesawat transport C-17, untuk mengantisipasi gangguan keamanan bagi kepentingan AS di Asia Pasifik.
Menurut The Sydney Morning Herald, Obama dan Gillard bersepakat menggunakan Robertson Barracks, pangkalan Australia yang telah lama ada di Darwin. Pangkalan itu selama ini menampung sekitar 4.500 tentara Australia. Pangkalan tersebut kemungkinan akan diperluas guna menampung para marinir AS, demikian Antara.
Sejauh ini China tidak memiliki sekutu yang bisa ditempatkan pasukannya di Asia Tenggara. Oleh sebab itu kehadiran Amerika Serikat di Darwin akan meningkatkan kehadiran militer China di Laut China Selatan. Dalam beberapa waktu ke depan setelah Marinir Amerika masuk Australia tampaknya Beijing akan mengambil langkah-langkah militer untuk menunjukkan klaim wilayah laut di Laut China Selatan.
Kini sikap Amerika di Asia Timur dan Tenggara bukan sekedar retorika lagi. Selama ini karena disibukkan dengan Perang di Irak dan Afghanistan, Amerika sebagai negara Pasifik tidak begitu tertarik masuk ke konflik kawasan.
Namun dengan nilai penting jalur maritim Laut China Selatan serta kandungan minyak dan gas di dalamnya, Washington mulai menunjukkan taringnya dan kepentingannya termasuk untuk sekutunya. (Asep Setiawan)***
Sumber:globalpolitics.asepsetiawan.com Peta dari www.worldsecuritynetwork.com