Selamat kepada Kompasianer yang aktif terutama saat pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Selamat juga kepada para pengasuh Kompasiana mulai dari Pepih Nugraha sampai Mas Sancuk alias Markus Suprihadi yang merawat blog citizen journalism ini.
Sepulang ke Indonesia akhir 2011, sudah tidak aktif lagi menulis di blog ini. Bahkan web pribadi asepsetiawan.com sempat di-hack sehingga kacau-balau. Saat ini tahun 2014 sudah mulai ditata lagi meski sangat lambat.
Boleh saya katakan keaktifan membernya membuat Kompasiana menjadi semacam papan demokrasi yang baru, tempat bertarung gagasan, berbagi informasi dan pengalaman bahkan sebagian di antaranya ada yang menulis dengan motif politik tertentu.
Belakangan malah Kompasiana menjadi tempat menuliskan surat terbuka kepada pimpinan politik dan elite Indonesia. Lengkap sudah peran Kompasiana ini di panggung demokasi Indonesia yang memasuki dasawarsa kedua kalau dihitung sejak reformasi 1998.
Seperti halnya suasana demokrasi di mana pun, anggota masyarakatnya perlu memiliki tanggung jawab. Kebebasan yang hadir karena alam demokrasi perlu dimanfaatkan secara akuntabel.Â
Apalagi mereka yang memiliki akses ke dunia siber, maka menulis dan berbagi informasi lebih besar lagi tanggung jawabnya. Mengapa tanggung jawab ini menjadi penting, karena sehatnya demokrasi tergantung dari adu gagasan di mimbar terbuka bukan melempar fitnah dan melakukan kegiatan yang merusak keterbukaan seperti mengunggah foto rekayasa untuk menjatuhkan pihak lain.
Kalau kita perhatian, unsur tanggung jawab ini masih lemah. Tidak hanya dari sahabat Kompasianer tetapi di kalangan yang disebut melek jurnalistik juga demikian.Â
Coba lihat apa yang terjadi dengan tabloid Obor Rakyat yang isinya fitnah dan memburukkan seseorang. Namun ketika diminta pertanggungjawabannya, pelakunya seperti orang tidak berdosa atas nama jurnalistik. Sungguh sebuah musibah bagi dunia jurnalistik karena klaim mereka merusak tatanan jurnalisme di Indonesia. Boleh berbeda pendapat, tetapi jangan berdusta!
Kalau Kompasiana ini dijaga oleh anggota komunitasnya sebagai sebuah papan demokrasi yang bisa mendewasakan, maka pertarungan ide dan diskusi menjadi sehat. Tidak ada akun jadi-jadian, tidak ada nama yang tidak jelas dengan informasi kacau-balau kecuali memuaskan hasrat dendamnya.Â
Mereka yang bersembunyi dari akun anonim ini tidak siap untuk berdemokrasi. Mereka tidak bisa menjadi bagian dari alam keterbukaan yang sehat. Mungkin mereka bisa diklasifikasikan sebagai agen-agen intelijen amatir karena tidak berani tampil berdialog dengan jati diri apa adanya.
Bahwa dalam dialog dan diskusi ada perbedaan pendapat, itulah konsekuensi dari demokrasi. Jika argumentasi untuk kepentingan publik itu pas dengan masyarakat maka sebagian dari anggota masyarakat akan mendukungnya.Â
Begitulah kehidupan di alam terbuka yang demokratis. Mereka yang memiliki akun anonim di media sosial menunjukkan tidak adanya itikad baik karena tidak mau jati dirinya diketahui sehingga bisa melempar informasi seenak hatinya.
Di papan demokrasi inilah berlangsung dialog dan pertukaran informasi selama 24 jam, tanpa batas geografis dan tanpa sekat aliran politik serta jenis kelamin dan usia.Â
Semua memiliki kesempatan sama berargumentasi dengan cara yang beretika. Bukan dengan kata-kata yang kasar seperti sinting, brengsek atau anj*ng. Bahasa menunjukkan bangsa begitulah bunyi sebuah ungkapan.
Kita semua harusnya percaya bahwa sebuah forum terbuka ini bisa memberikan inspirasi, pencerahan, tambahan ilmu dan saling koreksi seandainya ada kebijakan atau perihal yang menyimpang dalam masyarakat.Â
Kita semua mampu bahu-membahu membangun Indonesia yang lebih baik melalui kebiasaan bertukar gagasan dan pendapat. Kita juga bisa membangun sebuah kultur baru yang terbuka dan sehat melalui papan baru demokrasi ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H