Mohon tunggu...
Asep Saydul qolbi
Asep Saydul qolbi Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya mahasiswa sosiologi, dengan minat menulis yang kuat saya tertarik dalam dunia penulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Modernisasi Berpikir Umat Beragama

30 November 2024   03:53 Diperbarui: 30 November 2024   03:53 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis menawarkan konsep berfikir kritis dalam ajaran beragama, dalam bukunya diterangkan Metode pendidikan berpikir kritis merupakan cara yang efektif untuk menganalisis dan mengevaluasi ajaran agama, mengingat agama sering kali melibatkan penafsiran manusia yang bisa jadi benar atau salah. Hal-hal yang mendasar dan tidak dapat dipertanyakan, seperti rukun iman dan rukun Islam, seharusnya dipahami tanpa keraguan. Namun, dalam banyak hal yang berkaitan dengan ibadah dan praktik sosial, seperti penggunaan jilbab atau pemimpin non-Muslim, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Oleh karena itu, berpikir kritis sangat diperlukan untuk membedakan antara inti ajaran agama dengan produk penafsiran yang dapat ditafsirkan secara berbeda.

Dalam buku ini terdapat konsep yang menarik terhadap pembelajaran keagamaan “Esoterisme Islam” yang mencakup ajaran tasawuf atau tasawuf menawarkan pemahaman agama Islam yang lebih luas, jauh melampaui aspek politik yang kerap kali dipersempit oleh sebagian orang. Ajaran ini menekankan pencarian kedekatan dengan Tuhan melalui cinta, kebijaksanaan, dan pencerahan, yang dapat ditemukan dalam tradisi seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Beliau, sebagai rujukan utama dalam esoterisme Islam, menunjukkan nilai-nilai kasih sayang dan keikhlasan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, melalui karya-karya besar tokoh seperti Ibnu Arabi dan al-Ghazali, esoterisme Islam juga mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari teologi hingga filsafat, yang memengaruhi perkembangan peradaban Islam dan kemanusiaan secara luas.

Tradisi esoterisme Islam juga menekankan pentingnya toleransi beragama, yang terlihat dalam ajaran para sufi yang menghargai keberagaman dan menghindari fanatisme. Sufi klasik menekankan cinta kepada Tuhan, pentingnya bekerja sebagai bagian dari kehidupan, dan pengabdian kepada sesama manusia. Hal ini tercermin dalam kisah-kisah yang menunjukkan rasa hormat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang agama, seperti kisah Abu al-Hasan Kharaqani yang melayani seorang Kristen dengan penuh rasa hormat. Dengan pendekatan yang penuh kasih dan sederhana ini, penyebaran Islam melalui jalur esoterisisme dapat diterima dengan indah, seperti yang terlihat dalam penyebaran Islam di nusantara melalui kesenian lokal oleh para Wali Songo.

Demokrasi dan Kebhinekaan Indonesia

Buku ini menerangkan bagaimana serangkaian demokrasi dunia yang mempengaruhi kemerdekaan indonesia melalui Gerakan Pencerahan (Aufklärung) di Eropa pada abad ke-17 memberikan dampak besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dipelopori oleh para pemikir seperti Jean Jacques Rousseau yang mengemukakan konsep kontrak sosial, dan Montesquieu yang memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan, gerakan ini mengusung gagasan kebebasan individu dan nasionalisme. Pemikiran ini mengilhami Revolusi Prancis dan menciptakan nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan yang menjadi dasar perjuangan bangsa-bangsa terjajah, termasuk Indonesia. Semangat ini pula yang mendorong lahirnya gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Indonesia, seperti Sukarno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Politik Etis yang diterapkan Belanda pada akhir abad ke-19, termasuk di bidang pendidikan, juga turut memperlancar lahirnya gerakan kemerdekaan di Indonesia.

 Melalui akses pendidikan yang lebih luas, muncul generasi baru kaum priyayi yang terinspirasi oleh nilai-nilai Barat, seperti Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Tjipto Mangunkusumo yang mendirikan organisasi modern pertama, Boedi Oetomo. Selain itu, gagasan-gagasan kebangsaan yang digagas oleh tokoh-tokoh pergerakan, seperti Hatta dan Ki Hajar Dewantara, terus berkembang dan berujung pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.

Demokrasi di indonesia cukup labil dalam menentukan peraturanya, dalam buku ini mencoba membedah sisitem peraturan yang berindikasi menyebabkan diskriminasi, intoleran beragama dalam bukunya di jelaskan Kebijakan-kebijakan tersebut muncul pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi luas kepada pemerintah daerah. Puncak terbitnya kebijakan-kebijakan tersebut terjadi antara tahun 2003 hingga 2005. Kebijakan-kebijakan tersebut sebagian besar dikeluarkan di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan beberapa di antaranya cenderung diskriminatif, khususnya terhadap kaum perempuan. Misalnya, kewajiban mengenakan jilbab di tempat umum dan sekolah, serta pembatasan kebebasan beragama. Provinsi yang paling aktif mengeluarkan kebijakan bertema agama adalah Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Namun, terbitnya kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan tantangan serius bagi keberagaman di Indonesia dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, khususnya terkait kewenangan keagamaan yang seharusnya diatur oleh pemerintah pusat, bukan daerah. Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut seringkali tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat, khususnya kaum perempuan dan kelompok minoritas, yang menjadi korban diskriminasi akibat peraturan-peraturan tersebut. Banyaknya kebijakan serupa di beberapa provinsi, seperti kewajiban mengenakan jilbab, pendidikan agama, dan pengelolaan zakat, dapat berdampak negatif terhadap keberagaman dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, kebijakan diskriminatif tersebut harus dicabut untuk memastikan hak setiap warga negara terlindungi sesuai dengan prinsip keberagaman dan keadilan dalam UUD 1945.

Dalam konsen demokrasi pada bagian akhir buku ini menerangkan feminisme, Gerakan "Indonesia Tanpa Feminisme" yang muncul pada tahun 2019 berpendapat bahwa feminisme tidak diperlukan di Indonesia karena Islam sudah mencakup semua aspek kehidupan, termasuk hak-hak perempuan. Mereka mengklaim bahwa sejarah telah menunjukkan perempuan Muslim seperti Fatimah al-Fihria, Aisyah, dan Khadijah yang telah memimpin di berbagai bidang seperti pendidikan, sains, dan dunia bisnis. Namun, gerakan ini mengabaikan sejarah gerakan perempuan di Indonesia yang dimulai pada tahun 1912, dengan berdirinya organisasi Putri Mardika yang memperjuangkan kesetaraan pendidikan dan hak-hak perempuan. Feminisme, sebagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, memberikan perspektif untuk melihat ketidaksetaraan gender, dan penting untuk mendorong perubahan agar perempuan tidak lagi mengalami diskriminasi.

Kelebihan Buku

Buku ini menawarkan wawasan baru yang berharga bagi pembaca yang ingin mengeksplorasi topik-topik tersebut dengan pendekatan yang lebih kritis dan mendalam. Namun, pembaca perlu mempersiapkan diri untuk materi yang cukup kompleks, yang membutuhkan pemahaman dasar tentang filsafat, sejarah, dan agama. Namun, bagi mereka yang ingin membuka pikiran dan memahami tantangan yang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia, buku ini merupakan karya yang sangat berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun