Setiap manusia mengalami perubahan dalam hidupnya, baik disadari maupun tidak. Salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi perubahan itu adalah pengalaman. Pengalaman, baik yang manis maupun pahit, membentuk cara seseorang berpikir, merasakan, dan bertindak.
Bayangkan seorang pemuda yang dulu begitu pemarah. Sedikit saja ada yang mengusiknya, ia langsung meluapkan emosi. Namun, suatu hari ia kehilangan seorang sahabat karena perselisihan kecil yang berujung pada perpecahan. Setelah itu, ia mulai merenung. Ia menyadari bahwa amarahnya telah merusak hubungan yang berharga. Sejak saat itu, ia belajar mengendalikan emosinya, berusaha lebih sabar, dan memilih kata-kata dengan hati-hati.
Atau seorang pedagang yang dulu sering berlaku curang demi keuntungan besar. Hingga suatu ketika, dagangannya bangkrut, dan ia merasakan sendiri betapa sulitnya hidup dalam ketidakjujuran. Dari pengalaman pahit itu, ia bangkit dengan cara yang berbeda. Ia mulai berdagang dengan jujur, dan tanpa disangka, usahanya berkembang pesat karena kepercayaan pelanggan.
Pengalaman sering kali menjadi guru terbaik. Ia memberikan pelajaran tanpa harus berkata-kata. Dari kesalahan, kita belajar untuk tidak mengulanginya. Dari kegagalan, kita menemukan cara untuk bangkit lebih kuat. Dari kehilangan, kita belajar menghargai apa yang kita miliki. Perubahan perilaku yang lahir dari pengalaman bukan sekadar teori, melainkan perjalanan nyata yang membentuk diri kita menjadi lebih baik.
Karena itulah, setiap pengalaman, baik atau buruk, bukan sekadar kenangan. Ia adalah pelajaran berharga yang bisa mengubah kita menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Manusia yang Enggan Berubah
Perubahan adalah bagian dari kehidupan. Setiap makhluk yang bernapas pasti mengalami perubahan, baik karena pengalaman maupun ilmu yang diperolehnya. Bahkan binatang pun belajar dari kesalahan. Seekor burung yang pernah kehilangan sarangnya karena badai akan memilih tempat yang lebih aman untuk membangun rumahnya. Seekor kucing yang pernah terluka karena mendekati api akan menjauh jika melihat bara menyala.
Namun, bagaimana dengan manusia? Jika seseorang tetap bertahan dalam sikap dan perilaku buruknya, meskipun telah mendapatkan pengalaman pahit dan ilmu yang seharusnya menyadarkannya, maka ia lebih bodoh dari binatang.
Karena binatang, dengan naluri yang sederhana, mampu beradaptasi dan berubah demi kelangsungan hidupnya. Sementara manusia, dengan akal dan ilmu yang jauh lebih tinggi, justru mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Pelajaran dari Bajing dan Kalong
Perubahan adalah tanda kecerdasan, bahkan pada binatang sekalipun. Saya pernah mengalami contoh nyata dari perubahan perilaku makhluk lain selain manusia.
Dulu, saya memiliki pohon lengkeng yang untuk pertama kalinya berbuah. Betapa senangnya saya melihat buah-buah kecil itu mulai tumbuh dan membesar. Tetangga yang melihatnya pun ikut senang, membayangkan betapa manisnya buah lengkeng yang sebentar lagi akan matang. Saya pun dengan sabar menunggu, membayangkan saat terbaik untuk memanen dan menikmati hasilnya.
Namun, dalam penantian itu, saya mulai merasa heran. Setiap malam, jumlah buah lengkeng di pohon semakin berkurang. Awalnya saya mengira hanya perasaan saya saja, tetapi lama-kelamaan semakin jelas bahwa buah-buah itu benar-benar menghilang. Rasa penasaran pun mendorong saya untuk mencari tahu.
Akhirnya, saya menemukan jawabannya. Bajing dan kalong rupanya lebih pintar dari saya. Mereka mendahului saya menikmati buah lengkeng yang sudah mulai matang. Dengan cerdiknya, mereka memilih waktu malam hari, saat saya lengah, untuk berpesta di atas pohon.

Kejadian sebelumnya menjadi pelajaran berharga bagi saya. Jika bajing dan kalong bisa belajar mencari cara untuk mendapatkan makanan, maka saya pun harus lebih cerdas dalam melindungi hasil tanaman sendiri.
Pada musim buah berikutnya, saya tidak ingin kejadian yang sama terulang. Saya pun mencari cara agar buah lengkeng yang saya tunggu-tunggu tidak kembali dimakan oleh mereka. Akhirnya, saya memutuskan untuk membungkus buah yang sudah mulai besar dengan karung bekas wadah bawang putih. Saya berharap lapisan ini cukup untuk menghalangi bajing dan kalong agar tidak bisa mengambil buah dengan mudah.
Alhamdulillah, usaha saya membuahkan hasil. Musim ini, saya akhirnya bisa menikmati buah lengkeng dari pohon sendiri. Tidak ada lagi kehilangan misterius setiap malam, dan saya bisa merasakan manisnya hasil kerja keras.
Sebagai bentuk rasa syukur, saya tidak menikmati hasil ini sendirian. Saya berbagi dengan tetangga dekat, yang sejak awal ikut senang melihat pohon lengkeng saya berbuah. Kebahagiaan memang lebih bermakna ketika bisa dirasakan bersama. Dan dari pengalaman ini, saya kembali diingatkan bahwa setiap tantangan memiliki solusinya, asal kita mau belajar dan berusaha mencari jalan keluar.
Bajing Saja Bisa Belajar, Bagaimana dengan Manusia?
Musim berikutnya tiba, dan saya kembali bersiap menghadapi panen lengkeng. Seperti tahun lalu, begitu buah mulai membesar, saya segera membungkusnya dengan karung bekas wadah bawang putih. Saya berharap kali ini hasil panen akan lebih melimpah, karena semakin bertambah usia, pohon lengkeng ini pun semakin banyak berbuah.
Namun, harapan saya pupus ketika tiba waktu panen. Alih-alih menemukan buah lengkeng yang melimpah, saya justru kecewa karena yang tersisa hanya sedikit. Hampir setiap karung yang saya pasang sudah bolong, dan isinya lebih banyak biji serta kulit dibandingkan buah yang utuh. Saya pun bertanya-tanya, apa yang terjadi?
Setelah mengamati lebih lanjut, akhirnya saya menemukan jawabannya. Bajing-bajing itu telah menemukan cara untuk mengatasi perlindungan yang saya buat. Mereka tidak lagi hanya mencoba mencuri dari luar, tetapi kini bisa masuk ke dalam karung, menikmati buah dengan santai tanpa takut ketahuan.
Selama setahun penuh, rupanya mereka belajar bagaimana membolongi karung agar tetap bisa menikmati buah lengkeng.
Dari kejadian ini, saya merenung. Bajing, dengan naluri dan kecerdasannya, bisa belajar dan berubah demi bertahan hidup. Mereka tidak menyerah hanya karena ada penghalang, tetapi mencari cara agar tetap mendapatkan apa yang mereka inginkan. Jika bajing saja bisa berubah dan berkembang, bagaimana dengan manusia?
Bukankah kita yang dikaruniai akal dan ilmu seharusnya lebih mampu untuk belajar dari pengalaman, memperbaiki kesalahan, dan menemukan solusi yang lebih baik?
Pelajaran ini mengingatkan saya bahwa dalam hidup, tantangan selalu ada. Tapi selama kita mau belajar dan beradaptasi, tidak ada rintangan yang tidak bisa diatasi.
Hikmah yang Dapat Diambil
Dari kejadian ini, saya belajar bahwa kecerdasan bukan hanya milik manusia. Binatang pun bisa beradaptasi dan menemukan cara untuk bertahan hidup. Mereka tahu kapan harus bertindak, bagaimana menghindari bahaya, dan bagaimana memanfaatkan peluang yang ada. Jika binatang saja mampu berubah dan belajar dari lingkungannya, maka sudah seharusnya manusia, dengan akal dan ilmu yang lebih tinggi, bisa lebih cerdas dalam memahami kehidupan dan bertindak lebih bijaksana.
Betapa sia-sianya ilmu jika tidak membawa perubahan. Betapa tak bergunanya pengalaman jika tidak menjadi pelajaran. Seorang manusia yang tetap bersikeras dalam kesalahannya, tanpa mau belajar atau berbenah, sedang menurunkan derajat dirinya sendiri. Sebab bukan kecerdasan yang membedakan manusia dari binatang, tetapi kemampuannya untuk belajar, memahami, dan berubah menjadi lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI