Saat itu, perjalanan ke tempat tugas hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai. Dari rumah, saya berangkat menuju Palembang menggunakan speedboat kecil bermesin 40 PK. Perjalanan dimulai sekitar pukul 7 pagi, dan saya tiba di dermaga Benteng (Palembang) sekitar pukul 8.30. Di terminal speedboat Benteng, saya harus menunggu jadwal keberangkatan speedboat berikutnya menuju Karang Agung, tempat saya bertugas.Â
Biasanya, sekitar pukul 13, speedboat besar bermesin ganda 200 PK, yang dikenal sebagai "Speedboat 200," mulai berlayar menyusuri aliran Sungai Musi dan Sungai Lalan. Perjalanan ini memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam, tergantung kondisi di sepanjang rute. Saya biasanya tiba di tempat tugas sekitar pukul 16, atau terkadang pukul 17 jika ada hambatan di perjalanan.Â
Namun, tantangan belum selesai ketika speedboat merapat di daratan. Jika tidak ada ojek yang tersedia, saya harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 2 kilometer untuk akhirnya sampai di sekolah tempat saya bertugas.Â
Pengalaman ini menjadi bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna, mengajarkan saya tentang tanggung jawab, ketekunan, dan bagaimana menjalani amanah di tengah keterbatasan.
Sesekali Naik Tongkang
Sesekali, jika kondisi keuangan sedang menipis, saya memilih naik tongkang (perahu besar bermesin truk) meskipun perjalanan menjadi jauh lebih lama. Biasanya, tongkang berangkat dari Palembang sekitar pukul 13 siang dan baru tiba di dermaga tujuan sekitar pukul 2 dini hari, jika perjalanan berjalan lancar.Â
Namun, kenyamanan sering kali menjadi barang langka. Saat penumpang berdesak-desakan, saya terpaksa duduk di atas atap perahu. Angin malam yang kencang menusuk kulit, membuat tubuh terasa dingin sepanjang perjalanan, terutama saat melewati malam yang gelap dan sepi.Â
Meskipun penuh tantangan, ini adalah salah satu cara saya untuk tetap bisa menjalankan tugas di tengah keterbatasan.
Beruntung rasanya jika ada tukang ojek yang menunggu di dermaga untuk mengantar saya ke sekolah. Namun, jika tidak ada, dengan rasa kantuk yang berat dan tubuh yang lemas setelah perjalanan panjang, saya harus memaksakan diri berjalan kaki menuju sekolah.Â
Kadang, jika kantuk sudah tak tertahankan dan tidak ada teman untuk berbagi perjalanan, saya memutuskan untuk menginap terlebih dahulu di gardu Babinsa yang biasanya ada di setiap dermaga. Gardu itu menjadi tempat istirahat sementara, memberi saya waktu untuk memulihkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Sebagai guru mata pelajaran, pada waktu itu beban jam mengajar yang wajib hanya 18 jam per minggu. Oleh karena itu, kami berbagi hari dengan guru-guru lain untuk mengatur jadwal. Saya memilih mengajar pada hari Senin hingga Rabu, sehingga jam wajib tersebut dapat terpenuhi dalam tiga hari.Â