Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemandirian Sejak Dini, Investasi Terbaik untuk Masa Depan

30 November 2024   07:56 Diperbarui: 30 November 2024   07:56 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemandirian Sejak Dini, Investasi Terbaik untuk Masa Depan

Ketika seseorang memutuskan untuk mengerjakan sesuatu sendiri, sering kali muncul beragam pandangan dari orang lain. Ada yang memuji kemandirian tersebut, tetapi tak jarang juga muncul kritik. Beberapa mungkin menilai tindakan itu sebagai bentuk keegoisan, bahkan melabelinya dengan sebutan "pelit" karena dianggap tidak ingin berbagi rezeki dengan orang lain. Di sisi lain, jika pekerjaan itu diserahkan kepada tukang atau ahli, biayanya sering kali cukup tinggi, sehingga menciptakan dilema bagi sebagian orang dalam mengambil keputusan.

Apa yang Mau Dikerjakan, Direncanakan

Saya lahir dan tumbuh di tengah keluarga yang hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Meski begitu, ada nilai-nilai berharga yang selalu ditanamkan oleh orang tua kepada saya dan adik-adik. 

Kami diajarkan untuk tidak selalu bergantung pada orang lain. Sebisa mungkin, apa yang bisa kami kerjakan sendiri harus dilakukan sendiri, tanpa harus meminta bantuan dari orang lain kecuali benar-benar diperlukan. 

Prinsip ini membentuk karakter kami menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.

Pada suatu malam di tahun 1983, usai melaksanakan shalat Isya, keluarga kami berkumpul di ruang tengah, diterangi cahaya temaram dari lampu minyak tanah. 

Malam itu terasa hangat, bukan hanya karena keakraban yang terjalin, tetapi juga karena kebiasaan kami mendengarkan Bapak berbicara. Dengan suara tenangnya, Bapak mulai menjelaskan rencana kegiatan untuk esok hari. 

Beliau memberi arahan dengan detail, menyebutkan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dan siapa di antara kami, saya maupun adik-adik, yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. 

Itu adalah momen yang selalu mengajarkan kami arti kerja sama dan tanggung jawab dalam keluarga.

Dalam istilah yang lebih modern, momen seperti itu mungkin bisa diibaratkan sebagai sebuah meeting antara atasan dan stafnya. Bedanya, kali ini terjadi dalam suasana keluarga, di mana Bapak berperan sebagai pemimpin yang membahas rencana kerja untuk keesokan hari. 

Selain itu, beliau juga memberikan petunjuk teknis secara jelas, memastikan setiap tugas dapat dipahami dan dijalankan dengan baik. Meski sederhana, pertemuan itu mengajarkan kami pentingnya komunikasi, perencanaan, dan tanggung jawab.

Dari kegiatan sederhana tersebut, kami belajar bahwa segala sesuatu perlu direncanakan terlebih dahulu agar hasilnya lebih maksimal. Kebiasaan ini membentuk pola pikir kami bahwa keberhasilan tidak terlepas dari perencanaan yang matang. 

Prinsip ini sejalan dengan sebuah jargon yang terus terngiang dalam ingatan: "Rencanakan apa yang akan dikerjakan, dan kerjakan apa yang telah direncanakan." Nilai itu menjadi pegangan hidup yang mengajarkan pentingnya disiplin dan konsistensi dalam setiap langkah yang diambil.

Semua Dikerjakan Sendiri

Sejak kecil, kami sekeluarga dibiasakan untuk hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Setiap anggota keluarga diberi tugas dan tanggung jawab masing-masing, mulai dari merawat hewan peliharaan hingga mengurus tanaman di pekarangan. 

Kebiasaan ini lama-kelamaan membentuk karakter kami, menjadikan kemandirian sebagai nilai yang melekat dalam kehidupan. Hampir semua anggota keluarga kami mampu memperbaiki berbagai barang yang rusak (ringan), bahkan menangani kerusakan rumah sekalipun. 

Jika kerusakan itu tidak terlalu berat, kami lebih memilih untuk memperbaikinya sendiri, menjadikan keterampilan tersebut bagian dari keseharian kami.

Hidup di tengah masyarakat menuntut kita untuk pandai beradaptasi dan memahami situasi serta kondisi yang ada. Setiap tindakan yang dilakukan seseorang hampir selalu menimbulkan reaksi dari dua sisi: ada yang mendukung dan menyukai, ada pula yang tidak setuju atau bahkan tidak menyukainya.

Hal ini sering kami alami terkait kebiasaan keluarga kami yang lebih memilih memperbaiki sendiri kerusakan ringan tanpa meminta bantuan tukang. 

Beberapa tetangga melihatnya sebagai hal positif, memuji kami sebagai keluarga yang kreatif dan mandiri, bahkan menyarankan agar kebiasaan ini dijadikan contoh. 

Namun, tidak sedikit juga yang berkomentar sebaliknya, menilai kami sebagai keluarga pelit yang tidak mau berbagi rezeki dengan orang lain. Perbedaan pandangan ini mengajarkan kami untuk tetap teguh pada prinsip, tanpa harus tergoyahkan oleh berbagai opini yang datang.

Mendidik Anak Mandiri

Ada beberapa hal yang sebaiknya diajarkan sejak dini kepada anak-anak, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. 

Kemandirian ini penting untuk mencegah kebiasaan selalu mengandalkan bantuan, yang dalam istilah sehari-hari sering digambarkan sebagai "sedikit-sedikit panggil tukang." 

Dengan membekali mereka keterampilan dasar dan tanggung jawab, mereka akan lebih siap menghadapi tantangan hidup tanpa harus selalu bergantung pada orang lain.

Mendidik anak mandiri adalah proses yang membutuhkan kesabaran dan konsistensi. 

Bayangkan seperti menanam pohon, kita perlu memberikan bibit yang baik, merawatnya dengan benar, dan memberinya waktu untuk tumbuh. Begitu pula dengan anak, kita perlu memberikan mereka kesempatan untuk belajar dan berkembang secara mandiri.

Berikut ini cara mendidik anak agar mandiri :

1. Mulai dari Hal-Hal Kecil

Melibatkan anak dalam tugas rumah tangga sesuai dengan usia mereka adalah langkah penting dalam membentuk kemandirian sejak dini. 

Contohnya, anak kecil bisa diajarkan untuk merapikan mainan setelah bermain, membantu mencuci piring dengan sederhana, atau membuang sampah ke tempatnya. 

Aktivitas-aktivitas ini bukan hanya melatih tanggung jawab, tetapi juga menanamkan rasa kontribusi dalam keluarga. Selain itu, pengalaman ini menjadi fondasi keterampilan hidup yang akan berguna bagi mereka di masa depan.

Bagi anak laki-laki, penting untuk memberikan tanggung jawab yang sesuai dengan usianya, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dan kehidupan keluarga. 

Misalnya, mereka dapat ditugaskan mengurus ayam, kambing, atau tugas lain yang sejalan dengan kemampuan mereka. Tanggung jawab ini diberikan secara bertahap, di mana anak yang lebih dewasa diberi beban yang lebih besar sesuai dengan tingkat kedewasaan dan kemampuannya. 

Dengan cara ini, mereka belajar tentang tanggung jawab, kedisiplinan, dan bagaimana berkontribusi untuk keluarga.

Saya teringat akan sebuah pelajaran dari sejarah, bagaimana Allah mempersiapkan hamba-Nya untuk menjalankan tugas mulia sebagai seorang Rasul. 

Salah satu bentuk persiapannya adalah dengan menggembala kambing. Sebelum memimpin dan mengurus umatnya, para calon Rasul terlebih dahulu diuji dan dilatih melalui pekerjaan sederhana namun penuh tanggung jawab ini. 

Menggembala kambing mengajarkan kesabaran, ketelitian, serta kemampuan mengatur dan melindungi, yang kelak menjadi bekal penting dalam memimpin umat. Sebuah proses yang mengajarkan bahwa kepemimpinan besar sering kali dimulai dari tugas-tugas kecil yang penuh makna.

2. Beri Ruang untuk Belajar dari Kesalahan

Berikan ruang kepada anak untuk belajar dari kesalahan, karena pengalaman adalah guru terbaik. Jangan terlalu mengawasi setiap langkah mereka; biarkan mereka mencoba hal-hal baru meskipun ada kemungkinan gagal. 

Dalam proses mencoba dan gagal itulah mereka akan belajar tentang tanggung jawab, keberanian, dan cara menemukan solusi. Dengan begitu, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri dan percaya diri.

Saya masih mengingat dengan jelas salah satu pelajaran hidup yang diajarkan oleh Bapak. Saat itu, beliau membeli alat cetak tegel dan mengajarkan semua anak laki-lakinya untuk mencetak tegel sendiri. 

Hasil dari pekerjaan tersebut digunakan untuk lantai mushola keluarga, memberikan makna mendalam pada setiap tegel yang kami buat. Setelah kami menguasai keterampilan mencetak tegel, Bapak melangkah lebih jauh dengan membeli alat ukir. Kali ini, beliau meminta kami semua belajar mengukir.

Melalui proses ini, Bapak tidak hanya melatih keterampilan kami, tetapi juga mengamati dan memahami potensi setiap anak. Beliau bisa menilai siapa yang memiliki bakat dalam keterampilan tangan dan siapa yang tidak. 

Semua ini dilakukan bukan sekadar untuk melatih kami, tetapi juga sebagai cara mendidik kami agar menghargai kerja keras dan menemukan bakat yang tersembunyi.

3. Bangun Komunikasi yang Baik

Salah satu langkah penting dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak adalah dengan mendengarkan pendapat mereka. Berikan perhatian penuh ketika mereka berbicara, tunjukkan bahwa apa yang mereka sampaikan memiliki nilai dan dihargai.

Kakek saya adalah sosok yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat sekitar. Salah satu kenangan yang masih teringat jelas adalah ketika suatu hari beliau diminta oleh seorang tetangga untuk memberikan nama bagi bayi mereka yang baru lahir. 

Sebelum memutuskan nama, kakek memanggil saya dan bertanya, "Menurutmu, apa nama yang baik untuk bayi ini?" Ia menjelaskan bahwa nama bukan sekadar sebutan, tetapi juga doa dan identitas yang akan dibawa seumur hidup. 

Kakek ingin memastikan bahwa nama yang diberikan akan membuat anak itu bangga, bukan merasa malu di masa depan.

Dulu, saya sering menghabiskan waktu berbincang dengan kakek dan nenek (sambil memijat kakek), membicarakan berbagai hal tentang kehidupan dan bagaimana mempersiapkan diri untuk masa depan. 

Dalam percakapan itu, kakek sering menceritakan kisah-kisah inspiratif tentang orang-orang yang berhasil pada zamannya, terutama melalui penguasaan ilmu pengetahuan.

Cerita-cerita itu tidak hanya menarik, tetapi juga menjadi motivasi yang kuat bagi saya untuk terus belajar. Dari mereka, saya memahami bahwa ilmu adalah kunci untuk membuka pintu kesempatan dan keberhasilan di masa depan.

4. Ajarkan Keterampilan Hidup

Mengajari anak memasak, mencuci pakain atau memperbaiki barang-barang yang sederhana adalah langkah awal mengajari hidup mandiri, Ingat, bahwa mengajarkan keterampilan hidup kepada anak adalah investasi penting untuk masa depan mereka. 

Kemampuan ini tidak hanya membantu mereka menjadi lebih mandiri tetapi juga memberikan rasa percaya diri untuk menghadapi tantangan sehari-hari.

Gunakan waktu berkumpul dengan keluarga untuk mengajarkan kepada anak kita bagaimana mengatur waktu. Ajarkan mereka cara menyusun jadwal, menetapkan prioritas, dan menyelesaikan tugas tepat waktu. 

Dengan pengelolaan waktu yang baik, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang disiplin dan terorganisir, siap menghadapi tanggung jawab di masa depan.

5. Jadilah Role Model

Sebagai orang tua atau panutan, kita memiliki peran penting dalam menjadi contoh bagi anak-anak. Salah satu cara untuk menunjukkan hal tersebut adalah dengan menunjukkan sikap mandiri dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak melihat kita menyelesaikan tugas tanpa bergantung pada orang lain, mereka akan belajar untuk mengembangkan kemandirian mereka sendiri.

Saya bisa memperbaiki sepeda karena saya sering melihat bapak memperbaiki sepedanya sendiri.

Selain itu, penting juga untuk melibatkan anak dalam kegiatan keluarga, seperti membersihkan rumah atau merencanakan sesuatu bersama. Saya sekarang bisa memasang batu bata sekaligus 'melepo'nya karena saya sering terlibat membantu bapak memasang batu.

Dua hal ini (memberikan contoh dan melibatkan anak) akan menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kerja sama. Dengan demikian, anak tidak hanya belajar dari apa yang kita katakan, tetapi juga dari apa yang kita lakukan.

Kesimpulan 

Mendidik anak untuk mandiri sejak dini memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan mereka di masa depan. Kemandirian yang dibangun sejak kecil membantu anak mengembangkan rasa percaya diri, tanggung jawab, dan kemampuan untuk menghadapi tantangan secara mandiri. 

Dengan bekal ini, mereka akan lebih siap mengambil keputusan, menyelesaikan masalah, dan menjalani kehidupan dewasa dengan sikap yang matang dan mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun