Fenomena tikus telah menjadi isu yang memprihatinkan di Indonesia, baik secara harfiah maupun metaforis. Salah satu kejadian nyata yang menggegerkan masyarakat adalah ribuan tikus yang menyerbu permukiman warga di Dusun Cibatu, Desa Kutamakmur, Kecamatan Tirtajaya, Kabupaten Karawang.Â
Pada Jum'at malam, warga terbangun oleh pemandangan yang tidak biasa: ribuan tikus menyerang rumah-rumah mereka, menyebabkan keresahan dan ketidaknyamanan. Tikus-tikus itu tidak hanya menyerbu permukiman, tetapi bahkan beberapa rumah dipenuhi oleh mereka, menciptakan situasi yang mendesak.
Fenomena ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Warga Dusun Cibatu akhirnya bersatu untuk melakukan pembasmian tikus di pematang sawah dengan berbagai cara, berupaya untuk mengatasi ancaman tersebut.Â
Tindakan cepat ini menunjukkan bagaimana komunitas lokal bisa beradaptasi dan bertindak ketika menghadapi masalah yang mengancam kesejahteraan mereka.Â
Serbuan tikus ini bukan hanya mengganggu kehidupan sehari-hari, tetapi juga berpotensi membawa dampak buruk pada kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan, mengingat tikus dikenal sebagai hama yang merusak hasil pertanian.
Namun, permasalahan tikus di Indonesia tidak hanya terjadi secara fisik. Dalam ranah politik dan ekonomi, 'tikus-tikus' juga menjadi simbol bagi para pelaku suap dan korupsi yang merugikan negara.
Hampir bersamaan dengan berita tentang serbuan tikus di Karawang, jagat maya kembali digemparkan dengan kabar korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thom Lembong, sebagai tersangka. Kasus ini mencuri perhatian publik karena melibatkan tokoh besar dalam pemerintahan, serta menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, yaitu gula.
Dugaan korupsi tersebut menambah daftar panjang skandal perdagangan yang terjadi di Indonesia, sekaligus memicu berbagai reaksi dari masyarakat yang mempertanyakan integritas dan transparansi dalam pengelolaan impor bahan pangan.
Di saat warga Dusun Cibatu berjuang melawan tikus yang menyerang permukiman mereka, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Mahkamah Agung (MA) juga tengah memburu 'tikus-tikus' koruptor dan tukang suap di level nasional. Salah satu kasus yang paling mencolok adalah penangkapan Zarof Ricar, seorang mantan pejabat tinggi MA yang diduga terlibat dalam jaringan makelar kasus. Penangkapannya merupakan buntut dari kasus Ronald Tannur, di mana penyelidikan MA berhasil mengungkap skandal besar yang mengguncang publik.
Dilansir dari CNN Indonesia, Selasa 29 Oktober 2024, di rumah Zarof Ricar (Pensiunan MA), ditemukan uang tunai hampir Rp 920 miliar dan 51 kilogram emas, sebuah bukti nyata tentang betapa masifnya tindakan korupsi (makelar kasus) yang ia lakukan.
Kasus ini mencerminkan bahwa korupsi telah merugikan negara. Seperti tikus yang merusak tanaman dan hasil panen, para koruptor merusak perekonomian dan kesejahteraan rakyat dengan cara yang sama, dengan diam-diam menggerogoti aset negara.
Jauh sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah berhasil menangani sejumlah kasus besar, yang menjadi perhatian publik. Kasus tersebut bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, yang mencakup periode 2015 hingga 2022. Kasus ini kemudian dikenal dengan singkatan "kasus korupsi timah."
Kasus tersebut melibatkan berbagai pihak terkait dan memiliki dampak luas, baik secara ekonomi maupun lingkungan, mengingat pentingnya komoditas timah bagi perekonomian Indonesia. Proses hukum masih berjalan, dengan sejumlah bukti dan temuan yang terus dikaji untuk mengungkap sejauh mana praktik korupsi ini terjadi, serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dilansir dari detikNews, Rabu, 30 Oktober 3024, menurut Bambang Hero Saharjo, ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), kerugian lingkungan dari kasus dugaan korupsi timah mencapai sekitar 271 triliun rupiah.
Bambang menjelaskan bahwa angka-angka tersebut bukanlah prediksi sembarangan; itu adalah hasil dari perhitungan menyeluruh tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di dalam dan di luar hutan.
Kerugian tersebut termasuk kerusakan ekosistem, kerusakan tanah, dan kemungkinan kehilangan fungsi lingkungan dalam jangka panjang.
Bambang menyatakan bahwa kerusakan ini akan berdampak pada lingkungan saat ini dan generasi mendatang jika tidak segera ditangani.
Indonesia, dalam hal ini, sedang menghadapi darurat tikus dalam dua dimensi yang berbeda. Di satu sisi, serangan tikus secara harfiah mengancam kehidupan dan kesehatan masyarakat, sementara di sisi lain, korupsi yang diwakili oleh 'tikus-tikus' koruptor menggerogoti perekonomian dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Kedua jenis tikus ini memerlukan tindakan tegas dan cepat, baik dari masyarakat maupun pemerintah, untuk memulihkan stabilitas dan keamanan.
Pembasmian tikus secara fisik bisa dilakukan dengan teknologi dan cara-cara tradisional, seperti yang dilakukan oleh warga Dusun Cibatu, namun memberantas tikus koruptor membutuhkan tindakan lebih kompleks. Ini melibatkan penegakan hukum yang kuat, reformasi sistemik, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi pemerintah.
Pada akhirnya, darurat tikus di Indonesia, baik yang nyata maupun metaforis, harus diselesaikan untuk memastikan masa depan yang lebih bersih dan sehat bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI