Tombak: Sebuah Refleksi Tentang Pendidikan
MengasahDalam sebuah tulisan karya Mas Priyasa Hevi Etikawan, seorang penulis handal dan konsisten di Kompasiana, terdapat sebuah artikel berjudul "Siapapun Menteri Pendidikannya, Tetaplah Guru Ujung Tombaknya". Dari judul tersebut, saya langsung merasa tertarik untuk membaca dan memahami lebih lanjut.Â
Benar saja, tulisan itu benar-benar sesuai dengan ekspektasi saya. Mas Priyasa berhasil menyusun narasi yang sangat menarik, seolah-olah mewakili apa yang selama ini ingin saya sampaikan.
Tulisan tersebut mengingatkan bahwa, tidak peduli dari kalangan mana menterinya (apakah seorang politisi, akademisi, atau praktisi) pada akhirnya, pelaksana utama di lapangan tetaplah guru. Guru adalah ujung tombak pendidikan, mereka yang berhadapan langsung dengan siswa, membentuk generasi masa depan. Oleh karena itu, esensi dari perubahan dan kemajuan pendidikan ada di tangan para guru.
Mas Priyasa dengan tepat menekankan pentingnya meningkatkan kualitas guru, baik melalui peningkatan ilmu maupun kesejahteraan mereka. Guru harus terus "di-upgrade", diberikan pelatihan yang relevan dan mendalam, agar mereka siap menghadapi tantangan pendidikan yang semakin kompleks. Selain itu, pendapatan guru juga perlu ditingkatkan sebagai bentuk apresiasi dan motivasi, sehingga mereka dapat fokus memberikan yang terbaik bagi siswa dan pendidikan di Indonesia.
Ibarat sebuah tombak, alat yang diandalkan untuk bertahan dan melindungi diri, tentu ujungnya harus tajam. Tombak yang tajam bukan hanya lebih efektif digunakan, tetapi juga nyaman dipegang dan tidak menyakiti tangan penggunanya. Namun, ketajaman tombak tidak datang begitu saja; ia harus diasah. Proses mengasah ini membutuhkan keterampilan, kesabaran, dan alat yang tepat.
Orangtua kita dulu tahu betul bagaimana mengasah tombak dengan baik. Mereka menggunakan batu asahan dari alam, yang mungkin tidak menghasilkan ketajaman instan, tetapi tombak yang diasah dengan cara ini memiliki ketahanan yang luar biasa. Ketajamannya awet, bisa bertahan dalam waktu yang lama.
Namun, seiring perkembangan zaman, cara mengasah tombak pun berubah. Banyak yang kini menggunakan batu asahan buatan. Memang, tombak cepat tajam, tapi ketajamannya tidak bertahan lama. Tombak itu cepat tumpul kembali, menuntut pengasahan ulang yang lebih sering.
Fenomena ini bisa kita gunakan sebagai analogi dalam dunia pendidikan. Tombak dalam analogi ini bisa kita anggap sebagai kualitas guru, sementara proses mengasahnya adalah upaya meningkatkan kompetensi dan kapasitas para pendidik. Di masa lalu, pendidikan mungkin lebih sederhana, tetapi karena metode yang digunakan menyentuh aspek-aspek mendasar, kualitas yang dihasilkan cenderung lebih tahan lama. Kini, dengan berbagai program percepatan dan pelatihan instan, para guru memang bisa dengan cepat memperoleh peningkatan kemampuan. Namun, hasilnya sering kali bersifat sementara, cepat hilang ketika tidak ada pembinaan berkelanjutan.
penggerak di sekolah penggerak. Peningkatan kapasitas seharusnya merata, diberikan kepada semua guru, tanpa ada yang menunggu "cipratan" atau imbas dari mereka yang sudah lebih dahulu diutamakan.
Hal lain yang perlu diingat, proses mengasah ini tidak boleh hanya difokuskan pada satu jenis tombak saja. Semua tombak perlu diasah, tidak boleh ada yang dikesampingkan. Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan pelatihan tidak boleh hanya diberikan kepada segelintir guru di program khusus, seperti guruJika hanya satu tombak yang diasah sementara tombak lain hanya digosok sebentar, bisakah kita berharap ketajaman mereka setara? Tentu tidak. Tombak yang diasah dengan serius akan jauh lebih tajam, lebih efektif, dan lebih lama bertahan. Begitu juga dengan guru. Jika hanya segelintir guru yang diberikan pelatihan intensif, sementara yang lain hanya mendapat pelatihan sekadarnya, maka kualitas mereka tidak akan sama. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berkesinambungan, menyeluruh, dan inklusif.
Dalam dunia yang terus berkembang, peningkatan kualitas pendidikan adalah hal yang mutlak. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pendekatan yang terlalu instan. Ketajaman yang instan mungkin cepat diraih, tetapi ia tidak akan bertahan lama tanpa dukungan proses yang mendalam dan berkelanjutan. Sama seperti tombak, guru-guru kita juga memerlukan proses pengasahan yang terus menerus, dengan metode yang tepat, agar ketajaman mereka dalam mendidik tidak cepat tumpul dan mereka dapat menjadi ujung tombak dalam memajukan generasi masa depan.
Dikotomi Guru
Saat ini, profesi guru tampaknya telah mengalami perpecahan. Jika dulu semua guru dianggap satu kesatuan, tanpa ada label yang membedakan mereka, sekarang terbentuk dua kategori yang jelas: guru penggerak dan guru biasa. Program Guru Penggerak yang diinisiasi untuk mendorong inovasi dan transformasi pendidikan di satu sisi membawa dampak positif, tetapi di sisi lain, menciptakan batas yang tak kasat mata di antara para guru.
Perpecahan ini tidak hanya mempengaruhi suasana kerja, tetapi juga merembet pada kehidupan pribadi dan masa depan para guru. Guru penggerak sering kali mendapatkan pelatihan lebih lanjut, kesempatan untuk berkembang, dan akses ke berbagai program peningkatan kualitas.
Sementara itu, guru biasa kerap merasa tertinggal dan hanya menunggu "imbas" dari program-program tersebut, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan dalam persepsi dan pengalaman kerja.
Bagaimana tidak terasa jomplang, setiap kali ada program atau materi baru, guru penggerak selalu menjadi prioritas. Mereka mendapatkan akses pertama, diundang ke pelatihan yang diadakan di hotel-hotel dengan narasumber yang ahli dan berpengalaman di bidangnya. Mereka dididik langsung oleh para pakar, dibimbing dengan pengetahuan yang mendalam dan metode yang mutakhir. Sementara itu, guru biasa hanya bisa menunggu "imbasnya" menerima materi yang telah disampaikan kepada guru penggerak, tapi tentu saja dalam bentuk yang berbeda. Seperti analogi di atas, tombak yang satu diasah memakai batu alam sementara tombak yang lain diasah memakai batu buatan.
Perbedaannya jelas: orang yang dididik langsung oleh pakar pasti akan memiliki pemahaman yang lebih dalam dan keterampilan yang lebih kuat dibandingkan dengan mereka yang hanya mendapatkan materi dari murid pakar. Hasilnya? Tentu tidak sama. Ketika para guru biasa hanya menerima pengetahuan dari tangan kedua, kualitas pengajaran mereka pun tidak bisa seoptimal yang seharusnya. Padahal, dalam sistem pendidikan yang baik, setiap guru berhak mendapatkan akses yang setara terhadap pelatihan dan pengembangan diri.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem pendidikan yang seharusnya merata dan inklusif, malah berisiko memperdalam jurang antara guru penggerak dan guru biasa. Apa yang sebelumnya merupakan satu profesi yang kompak dan kolektif, kini terpecah menjadi dua dunia yang berbeda, yang pada gilirannya berdampak pada kehidupan profesional, motivasi, dan masa depan para pendidik ini.
Menanti Kiprah Sang Menteri Baru
Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), memiliki latar belakang yang kuat dalam dunia pendidikan, sebagaimana dilansir dari kumparan.com. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat peduli dengan pendidikan, nilai-nilai tersebut membentuk fondasi perjalanan kariernya. Lintas pendidikan formalnya pun mencerminkan dedikasi penuh terhadap bidang ini, dengan gelar S1, S2, dan S3 yang semuanya linier dalam studi pendidikan.
Sebelum menjabat sebagai menteri, Abdul Mu'ti menjabat sebagai Sekretaris Umum Muhammadiyah untuk periode 2022--2027, posisi strategis yang turut memperkuat visinya dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Kita sudah mengetahui betapa besar peran Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Muhammadiyah secara konsisten menunjukkan kemajuan yang signifikan. Tidak hanya unggul dalam kualitas pendidikan, tetapi juga berkontribusi secara luas terhadap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan di tanah air. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan berorientasi pada pengembangan moral serta intelektual, Muhammadiyah berhasil menciptakan lembaga pendidikan yang mampu memberikan dampak positif dan nyata bagi masyarakat.
Mari kita nantikan langkah strategis yang akan diambil oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru. Apakah ia akan memodifikasi Kurikulum Merdeka yang saat ini diterapkan, atau memilih untuk menggantinya secara keseluruhan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H