Dalam dunia yang terus berkembang, peningkatan kualitas pendidikan adalah hal yang mutlak. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pendekatan yang terlalu instan. Ketajaman yang instan mungkin cepat diraih, tetapi ia tidak akan bertahan lama tanpa dukungan proses yang mendalam dan berkelanjutan. Sama seperti tombak, guru-guru kita juga memerlukan proses pengasahan yang terus menerus, dengan metode yang tepat, agar ketajaman mereka dalam mendidik tidak cepat tumpul dan mereka dapat menjadi ujung tombak dalam memajukan generasi masa depan.
Dikotomi Guru
Saat ini, profesi guru tampaknya telah mengalami perpecahan. Jika dulu semua guru dianggap satu kesatuan, tanpa ada label yang membedakan mereka, sekarang terbentuk dua kategori yang jelas: guru penggerak dan guru biasa. Program Guru Penggerak yang diinisiasi untuk mendorong inovasi dan transformasi pendidikan di satu sisi membawa dampak positif, tetapi di sisi lain, menciptakan batas yang tak kasat mata di antara para guru.
Perpecahan ini tidak hanya mempengaruhi suasana kerja, tetapi juga merembet pada kehidupan pribadi dan masa depan para guru. Guru penggerak sering kali mendapatkan pelatihan lebih lanjut, kesempatan untuk berkembang, dan akses ke berbagai program peningkatan kualitas.
Sementara itu, guru biasa kerap merasa tertinggal dan hanya menunggu "imbas" dari program-program tersebut, yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan dalam persepsi dan pengalaman kerja.
Bagaimana tidak terasa jomplang, setiap kali ada program atau materi baru, guru penggerak selalu menjadi prioritas. Mereka mendapatkan akses pertama, diundang ke pelatihan yang diadakan di hotel-hotel dengan narasumber yang ahli dan berpengalaman di bidangnya. Mereka dididik langsung oleh para pakar, dibimbing dengan pengetahuan yang mendalam dan metode yang mutakhir. Sementara itu, guru biasa hanya bisa menunggu "imbasnya" menerima materi yang telah disampaikan kepada guru penggerak, tapi tentu saja dalam bentuk yang berbeda. Seperti analogi di atas, tombak yang satu diasah memakai batu alam sementara tombak yang lain diasah memakai batu buatan.
Perbedaannya jelas: orang yang dididik langsung oleh pakar pasti akan memiliki pemahaman yang lebih dalam dan keterampilan yang lebih kuat dibandingkan dengan mereka yang hanya mendapatkan materi dari murid pakar. Hasilnya? Tentu tidak sama. Ketika para guru biasa hanya menerima pengetahuan dari tangan kedua, kualitas pengajaran mereka pun tidak bisa seoptimal yang seharusnya. Padahal, dalam sistem pendidikan yang baik, setiap guru berhak mendapatkan akses yang setara terhadap pelatihan dan pengembangan diri.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem pendidikan yang seharusnya merata dan inklusif, malah berisiko memperdalam jurang antara guru penggerak dan guru biasa. Apa yang sebelumnya merupakan satu profesi yang kompak dan kolektif, kini terpecah menjadi dua dunia yang berbeda, yang pada gilirannya berdampak pada kehidupan profesional, motivasi, dan masa depan para pendidik ini.
Menanti Kiprah Sang Menteri Baru
Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), memiliki latar belakang yang kuat dalam dunia pendidikan, sebagaimana dilansir dari kumparan.com. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat peduli dengan pendidikan, nilai-nilai tersebut membentuk fondasi perjalanan kariernya. Lintas pendidikan formalnya pun mencerminkan dedikasi penuh terhadap bidang ini, dengan gelar S1, S2, dan S3 yang semuanya linier dalam studi pendidikan.
Sebelum menjabat sebagai menteri, Abdul Mu'ti menjabat sebagai Sekretaris Umum Muhammadiyah untuk periode 2022--2027, posisi strategis yang turut memperkuat visinya dalam memajukan pendidikan di Indonesia.