Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Generasi Z Tersandung di Gerbang Karier, Tantangan Menembus Pasar Kerja

17 Oktober 2024   15:10 Diperbarui: 18 Oktober 2024   10:21 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Pak, malas aku melamar kerja, sudah dua kali melamar kerja, ketika sampai di Wawancara, terakhir ditanya, siapa pejabat di PT. ... yang anda kenal, ya aku nggak ada yang kenal lah, wong namanya juga baru mau melamar. Pokonya malas aku melamar pekerjaan lagi."

Tulisan di atas adalah cuplikan cerita ketika penulis ngobrol dengan seorang mahasiswa Universitas Terbuka Jurusan Bidang Ilmu (Seorang Sarjana yang kuliah lagi di UT mengambil jurusan PGSD) saat ia kedua kalinya melamar pekerjaan.

Mendengar hal ini, saya hanya bisa berpikir, betapa sulitnya bagi orang dusun (mungkin juga bagi sebagian orang kota) dalam mencari pekerjaan. Bagaimana mungkin seorang anak dusun bisa mengenal pejabat di perusahaan, sementara ia hanya fokus menyelesaikan kuliah, dan orang tuanya hanyalah petani sederhana?

Pertanyaan seperti ini terasa tak adil, seakan koneksi pribadi lebih penting daripada kompetensi. Dan ini baru pengalaman melamar di perusahaan swasta dan BUMN. Saya bisa membayangkan betapa lebih rumitnya bagi mereka yang melamar menjadi pegawai negeri (CPNS). Tekanan semacam ini membuat proses mencari pekerjaan terasa semakin sulit dan penuh hambatan, terutama bagi mereka yang datang dari latar belakang sederhana.

Senada dengan itu, anak saya yang kedua pun belum bekerja. Setiap kali saya menemukan link lowongan pekerjaan, saya segera mengirimkannya kepada. Namun, saat link tersebut dibuka, selalu saja ada salah satu syarat yang menghalangi, yaitu "memiliki pengalaman 2 tahun pada bidang yang dilamar."

Dengan syarat semacam ini, peluang untuk mendapatkan pekerjaan menjadi semakin sempit, terutama bagi generasi Z yang baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. 

Mereka dihadapkan pada dilema, di mana pengalaman kerja dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi tanpa pekerjaan, bagaimana mereka bisa memperoleh pengalaman tersebut? Ini menjadi tantangan besar bagi generasi muda yang ingin memulai kariernya.

Pemerintah terus mendorong masyarakat untuk memastikan anak-anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi, salah satunya melalui program Wajib Belajar. Seiring waktu, masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan dalam membangun masa depan.

Hasilnya, kini semakin jarang kita menemukan anak yang pendidikannya hanya tamat SD. Bahkan, lulusan Sarjana S1 semakin banyak, dan lulusan Sarjana S2 pun kini "berhamburan". Namun, di balik kemajuan ini muncul sebuah ironi yang menyakitkan. 

Pengangguran kini bukan hanya masalah bagi lulusan SD atau SMP, tetapi juga menjadi tantangan besar bagi para lulusan sarjana. Banyak dari mereka yang sudah menempuh pendidikan tinggi, tetapi masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kondisi ini mencerminkan bahwa pendidikan tinggi tidak lagi menjadi jaminan mutlak untuk masuk ke dunia kerja, dan memperlihatkan adanya kesenjangan antara dunia pendidikan dan lapangan pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun