Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kurban Jumbo, Semangat Berbagi atau Gengsi Sesaat?

14 Juni 2024   15:45 Diperbarui: 14 Juni 2024   15:50 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kurban Jumbo: Semangat Berbagi atau Gengsi Sesaat?

Fenomena kurban dengan hewan berbobot jumbo akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Baik di layar televisi maupun media sosial, banyak beredar berita tentang tokoh dan idola yang berkurban dengan hewan berukuran luar biasa. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah bobot hewan menjadi syarat sah dalam berkurban?

Perlu ditegaskan bahwa bobot hewan tidak menjadi syarat sah dalam berkurban. Syarat utama berkurban adalah memenuhi kriteria syariat Islam, seperti hewan sehat, cukup umur, dan tidak cacat. Hal ini sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah membedakan bobot hewan kurban.

Lalu, apa yang mendasari tren kurban jumbo ini? Beragam spekulasi muncul, mulai dari niat tulus untuk berbagi lebih banyak daging, hingga mencari sensasi dan popularitas.

Jika niatnya tulus untuk berbagi lebih banyak daging kepada masyarakat yang membutuhkan, hal ini patut diapresiasi. Namun, jika dijadikan ajang pamer kekayaan atau mencari sensasi, maka kurban jumbo dikhawatirkan kehilangan makna dan esensinya.

Fenomena ini tidak hanya memicu rasa penasaran, tetapi juga menimbulkan berbagai perdebatan, khususnya dalam perspektif keagamaan. Banyak orang yang bersemangat mengikuti atau sekadar menonton perlombaan ini, terpesona oleh kekuatan dan keanggunan binatang-binatang besar tersebut.

Namun, dalam keasyikan mengikuti tren ini, penting untuk kita merenungkan pandangan agama, khususnya dalam Islam. Dalam Al-Qur'an, disebutkan bahwa bukan daging dan darah binatang kurban yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan dari orang yang berkurban. Hal ini termaktub dalam Surah Al-Hajj ayat 37, yang berbunyi:

Artinya : "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS. Al-Hajj: 37)

Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari ibadah kurban bukanlah aspek materialnya, melainkan niat dan ketulusan hati yang melandasinya. Ketika kita melihat tren perlombaan dengan binatang jumbo ini, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: apakah tujuan kita murni sekadar hiburan atau ada nilai lain yang kita harapkan?

Mengenai ayat di atas, Syaikh As Sa'di berkata, "Ingatlah, bukanlah yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja, dan yang Allah harap bukanlah daging dan darah qurban tersebut, karena Allah tidak butuh pada segala sesuatu dan Dialah yang pantas diagungkan."

Dari ibadah kurban, yang diterima Allah adalah niat yang salih, keikhlasan, dan intisab (selalu mengharap pahala dari-Nya). Oleh karena itu, ketika Allah berkata, "Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridha-Nya", seseorang seharusnya berqurban dengan ikhlas, bukan karena riya' atau berbangga dengan kekayaan yang mereka miliki, dan bukan karena itu hanya kebiasaan tahunan.

Jadi, esensi dari ibadah kurban adalah keikhlasan dan ketakwaan. Daging dan darah hewan kurban tidak akan sampai kepada Allah SWT tanpa adanya takwa dan ikhlas dari pelakunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun