Saya lahir dari keluarga pekebun dan petani. Orang tua saya menghidupi dan membiayai sekolah anak-anaknya dari hasil kebun kopi. Penghasilan lain diperoleh dari menanam ubi kayu dan keladi. Selain bertani, beliau juga mengajar ngaji. Beliau ilmu agamanya sangat mumpuni dengan latar belakang pendidikan dari pesantren terkenal di Sukabumi.
Orang tua saya memiliki kebiasaan menanam berbagai buah-buahan dan sayuran di kebun belakang rumah. Kebiasaan ini pun diwariskan kepada saya. Bagi saya, berkebun bukan hanya sebuah hobi, tetapi juga cara untuk menyambungkan diri dengan alam dan tradisi keluarga.
Di kebun belakang, saya menanam berbagai jenis tanaman yang bermanfaat. Ada pohon mangga, jambu air, jambu kristal, jambu jamaika, anggur brazil, lengkeng, alpukat, pisang, dan beberapa tanaman sayur seperti tomat, cabai, dan kangkung. Setiap kali panen, rasanya selalu istimewa karena saya tahu betul bagaimana proses menanam dan merawatnya.
Berbeda dengan kebun belakang, halaman depan rumah saya dihiasi dengan berbagai jenis tanaman hias. Bunga-bunga bermekaran dengan indah, memberikan suasana yang ceria dan penuh warna. Namun, yang paling menarik adalah koleksi adenium saya. Mawar gurun ini begitu mempesona dengan beragam bentuk dan warnanya. Saya memiliki 54 jenis adenium yang berbeda, dan setiap jenis memiliki keunikannya sendiri.
Merawat tanaman-tanaman ini bukan hanya pekerjaan yang menyenangkan, tetapi juga memberikan banyak manfaat. Buah-buahan dan sayuran dari kebun belakang menjadi sumber makanan segar dan bergizi bagi keluarga. Tanaman hias di halaman depan pun membuat rumah terasa lebih asri dan indah. Bagi saya, berkebun adalah sebuah gaya hidup yang membawa kebahagiaan dan kedamaian.
Menanam bukan hanya menjadi sebuah kebiasaan yang bermanfaat bagi diri saya sendiri, tetapi juga memberikan dampak positif bagi orang lain. Setiap kali hasil panen melimpah, saya dengan senang hati berbagi dengan tetangga dan teman-teman. Rasanya begitu memuaskan melihat senyum di wajah mereka saat menerima sayuran segar dari kebun saya. Lebih dari itu, saya juga sering memberikan bibit tanaman kepada mereka yang ingin memulai berkebun. Kebahagiaan saya tidak hanya berasal dari melihat tanaman tumbuh subur, tetapi juga dari melihat orang-orang di sekitar saya mulai menanam dan menikmati hasilnya.
Bagi saya, menanam bukan hanya tentang menghasilkan sesuatu yang bisa dinikmati sendiri, tetapi juga tentang berbagi dan menyebarkan kebahagiaan. Kebun saya menjadi sumber kebahagiaan tidak hanya untuk saya, tetapi juga untuk komunitas kecil di sekitar saya. Menanam dan berbagi hasilnya adalah bentuk kontribusi kecil yang bisa saya lakukan untuk lingkungan sekitar.
Pada suatu saat, di lingkungan tempat tinggal saya, belum ada yang memiliki tanaman lengkeng. Di kebun saya, tumbuh beberapa batang pohon lengkeng, dan salah satunya berbuah sangat lebat. Pohon itu berada di pinggir jalan, sehingga hampir setiap orang yang lewat pasti melirik dan memuji, "Alangkah lebatnya buah lengkeng itu." Ketika buah lengkeng tersebut sudah matang, anak saya mengusulkan agar buahnya dijual secara online, "Mumpung harganya mahal," katanya.
Namun, saya langsung menjawab dengan tegas, "Tidak nak, bapak mau jual beli dengan Allah, buahnya mau dibagikan kepada tetangga. Bapak berniat untuk berbagi rezeki dengan orang-orang di sekitar. Ketika tiba waktu panen, saya memenuhi niat tersebut. Buah lengkeng yang jumlahnya sekitar 40 kilogram saya bagikan kepada tetangga-tetangga.
Lebih dari sekadar hobi, menanam memiliki makna spiritual yang mendalam bagi saya. Islam mengajarkan bahwa manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kahirunnaasi 'anfa'uhum linnaas" yang berarti sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Prinsip ini menjadi pendorong utama dalam setiap kegiatan berkebun yang saya lakukan. Dengan menanam dan berbagi, saya berharap bisa menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi sesama, serta menebarkan kebaikan dan kebahagiaan di sekitar saya.