"Sejak dulu kampung ini begini," ujar Ating. "Rumahnya ada 10, tapi yang 1 kosong sudah lama. Dari sejak dulu hanya ada 9 KK di sini. Orang tua kami tidak pernah cerita mengapa di sini hanya ada sembilan keluarga.Â
Dan kalau ada orang dari luar pindah ke sini maka biasanya warga di sini akan berkurang baik karena meninggal atau pindah ke luar kampung. Itu terjadi begitu saja dan kami tidak pernah menghalangi siapapun yang mau tinggal di sini. Bebas, tapi selalu kembali jadi 9 keluarga."
Ating berasal dari luar Kampung Salapann. Dia dari Rawamerta. Saat menikah dengan wanita Kampung Salapann, dia memutuskan pindah ke kampung sang istri. Tidak lama tinggal di sana, salah seorang warga ada yang meninggal sehingga jumlah keluarga kembali ke angka 9.Â
Begitu juga ketika ada warga yang meninggal maka beberapa bulan kemudian ada warga lain yang menikah dan membawa pasangannya tinggal di Kampung Salapan. Konon peristiwa seperti itu sudah berlangsung cukup lama tanpa seorang wargapun yang memahaminya.
Rekayasa Budaya?
Warga Kampung Salapan merupakan orang-orang sederhana dengan profesi buruh tani. Sesepuh kampung bernama Ating bahkan heran mengapa orang-orang meramaikan kampungnya.Â
Dan seiring kian populernya nama Kampung Salapan maka berbagai penomena mulai berkembang juga di sana.Â
Di antaranya adalah diadakannya tradisi ngabungbang, ritual nyalin, kebiasaan berpakaian warna biru, pemasangan pucuk padi sembilan batang di atas pintu rumah sampai sejumlah larangan yang membingungkan seperti tidak diperbolehkannya perempuan haid masuk kampung.Â
Penelusuran di lapangan menunjukkan bahwa warga sendiri tidak begitu memahami munculnya tradisi seperti itu. Namun sepertinya geliat potensi beraroma wisata membuat pihak-pihak tertentu memanfaatkannya.
Candi Kuno
Kampung Salapan tidak hanya populer dengan jumlah warganya yang selalu 9 keluarga dari generasi ke generasi, tapi ada juga cerita lain yang tidak kalah heboh yaitu tentang keberadaan jejak bangunan candi di dekat kampung.Â