Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Orang seperti RJ Lino “Wajib” Diganggu? (2)

6 November 2015   09:44 Diperbarui: 6 November 2015   10:07 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Guntingan Kliping Berita Wawancara Menteri Perhubungan Ignasius Jonan di Majalah Tempo, Edisi Juli 2015. Menteri Perhubungan menyatakan dengan tegas Dirut Pelindo II RJ Lino harus mengurus ijin konsesi terlebih dahulu sebelum melakukan perpanjangan konsesi JICT"][/caption]TULISAN INI merupakan tanggapan atas sejumlah pernyataan Dirut Pelindo II RJ Lino ketika diwawancara Metro TV dalam Primetimenews, Kamis (5/11) kemarin. Ada beberapa pernyataan yang patut diduga dimaksudkan untuk menyesatkan pemahaman publik mengenai amandemen konsesi JICT.

Dalam wawancara tersebut, RJ Lino berulang kali mengatakan tidak perlu meminta ijin konsesi kepada Kementerian Perhubungan karena JICT merupakan anak perusahaan yang dimilikinya. Amandemen konsesi JICT murni hubungan business to business.

Fakta: Kementerian Perhubungan merasa keberatan dengan amandemen konsesi JICT karena RJ Lino diduga melanggar UU No 17/2008 tentang Pelayaran. Surat Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Wahyu Widayat tanggal 6 Agustus 2014 kepada RJ Lino, Surat Menteri Perhubungan EE Mangindaan kepada Menteri BUMN Dahlan Iskan, tanggal 18 September 2014 dengan tegas menyatakan Pelindo II harus mengurus ijin konsesi terlebih dahulu kepada Kementerian Perhubungan sebelum melakukan perpanjangan konsesi JICT.

Berlakunya UU No 17/2008 tentang pelayaran memisahkan secara tegas posisi Kementerian Perhubungan sebagai regulator yang memiliki wewenang memberikan konsesi, serta Pelindo (1 s/d 4) sebagai operator yang bertugas mengoperasikan pelabuhan.

Surat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan kepada Menteri BUMN Rini Soemarno agar pelabuhan-pelabuhan yang dikelola asing dan segera berakhir masa konsesinya tidak diperpanjang lagi dan sepenuhnya dikelola putra-putri Indonesia demi kemandirian bangsa.  Ignasius Jonan juga mengatakan tidak adanya ijin Kementerian Perhubungan dalam amandemen konsesi JICT menyebabkan kerugian negara dalam bentuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar 2,5%. Dalam surat yang dikirimkan kepada Menteri BUMN, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga membantah pernyataan dua mantan pejabat Kementerian Perhubungan (Effendi Batubara dan Kalalo Nugroho) tentang konsesi. Menurut Jonan, Pelindo II tetap wajib mengurus ijin konsesi terlebih dahulu kepada Kementerian Perhubungan.

RJ Lino mengelak dari aturan UU No 17/2008 tentang Pelayaran, dan lebih memilih pendapat hukum (legal opinion) dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Fakta: Di depan pansus Pelindo II DPR, Jamdatun menolak pernyataan RJ Lino yang mengatakan lembaga kejaksaan tersebut memberikan rekomendasi perpanjangan konsesi JICT.

RJ Lino menyatakan valuasi JICT dilakukan Deutchse Bank, sebuah lembaga keuangan terkemuka yang tidak bisa disuap.

Fakta: persoalan suap atau tidak itu tidak relevan dikomentari. Namun valuasi yang dilakukan Deutchse Bank sendiri ternyata dikoreksi oleh PT Bahana Sekurities Indonesia. Lembaga keuangan yang ditunjuk Pelindo II setelah FRI meragukan hasil valuasi yang dilakukan DB.

Di sini kami akan kutip  sepenuhnya evaluasi Bahana terhadap valuasi JICT yang dilakukan Deutchse Bank.

  • WACC yang digunakan 9,4%;
  • Berdasarkan proyeksi arus kas yang dilakukan oleh Deutsche Bank, diperoleh Present Value proyeksi  Arus Kas JICT apabila dilakukan perpanjangan kontrak sebesar  USD 330,3 juta. Diasumsikan bahwa posisi kas akhir tahun 2014 sama dengan akhir tahun 2013, yaitu USD 73,2 juta, sedangkan posisi hutang per akhir tahun 2014 adalah sebesar USD 20 juta, sehingga diperoleh posisi net cash JICT per akhir tahun 2014 sebesar USD 53,2 juta. Maka Nilai Present Value JICT (termasuk komponen Posisi Kas Bersih)  adalah USD 383,5 juta;
  • Dengan menggunakan perhitungan Deutsche Bank di atas, maka Present Value Arus Kas bagi Hutchison di JICT (dengan porsi 49%) adalah sebesar USD 187,9 juta;
  • Dari evaluasi Bahana, Deutsche Bank menggunakan proyeksi arus kas yang mengasumsikan bahwa jika kontrak diperpanjang, maka JICT akan melakukan investasi peralatan yang lebih besar dibandingkan jika kontrak tidak diperpanjang. Dana investasi tersebut diasumsikan menggunakan dana sendiri yang menyebabkan pembayaran dividen JICT menurun. Menurut kami, tetap perlu dipertimbangkan opsi JICT mendapat dana pinjaman sehingga dividen tidak terlalu banyak berkurang;
  • Selain itu, dalam proyeksi arus kasnya, Deutsche Bank memperhitungkan pula komponen pembayaran residual value sekitar USD 58 Juta dari IPC kepada Hutchison, jika kontrak berakhir pada tahun 2018. Sedangkan proyeksi arus kas di atas adalah proyeksi arus kas JICT yang tidak akan terpengaruh oleh kewajiban atas pembayaran residual value tersebut, sehingga seharusnya komponen pembayaran residual value tersebut tidak diperhitungkan;
  • Menurut kami terjadi kontradiksi skenario perhitungan yang dilakukan Deutsche Bank yang menyebabkan proyeksi arus kas JICT lebih rendah dari yang seharusnya, sedemikian sehingga Present Value Proyeksi Arus Kas JICT (porsi Hutchison) seharusnya masih dapat lebih besar dari USD 187,9 juta.

Yang tidak boleh dilupakan publik terhadap pernyataan RJ Lino, Deutchse Bank adalah kreditor Pelindo II yang memberi pinjaman US$570 juta atau sekira Rp 6T. Kisah peminjaman dana ini berawal dari kesulitan keuangan Pelindo II untuk membayar Kredit Modal Kerja (KMK) kepada BNI dan Mandiri yang jatuh tempo di tahun 2014 sebesar Rp 4T, dari pinjaman awal Rp 1 T, pada saat jatuh tempo tahun 2013 Pelindo II terpaksa meminjam KMK lagi Rp 4 T untuk membayar utang Rp 1 T. Hingga kemudian Deutsche Bank memberikan pinjaman senilai Rp 6T tersebut untuk menutupi pinjaman KMK.

Untuk kepentingan perpanjangan konsesi JICT, Pelindo II menunjuk Deutchse Bank sebagai pihak yang bertugas melakukan valuasi JICT.  Disinyalir pada saat yang bersamaan Deutchse Bank juga merupakan konsultan Hutchison Port Holdings (HPH) yang merupakan pemegang saham JICT.

Koreksi atas valuasi JICT yang dilakukan Deutchse Bank oleh Finance Research Institute (FRI) maupun Bahana Sekuritas Indonesia menunjukan ada ketidakakuratan perhitungan Deutchse Bank yang diklaim Lino sebagai lembaga keuangan terkemuka tersebut.

RJ Lino menolak informasi yang mengatakan Menteri BUMN Dahlan Iskan menolak perpanjangan konsesi JICT

Fakta: kami memiliki bukti pernyataan Menteri BUMN Dahlan Iskan kepada media tentang penolakannya terhadap amandemen konsesi JICT. Dalam pernyataannya Dahlan Iskan mengatakan era privatisasi BUMN sudah selesai karena kondisi negara tidak sedang dalam keadaan krisis seperti tahun 1999 saat sejumlah BUMN dijual kepada pihak asing. Sumber informasi bisa dicek di sini: Http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/287844-ambisi-dahlan--bumn-beli-korporasi-asing

Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, Deputi Menteri BUMN era Dahlan Iskan juga menyatakan hal yang sama dengan menambahkan bahwa perpanjangan konsesi JICT harus dilakukan melalui tender terbuka.

RJ Lino menyatakan putra-putri Indonesia belum terbukti ada yang berhasil mengelola semisal menjadi manajer di pelabuhan asing.

Fakta: pernyataan RJ Lino melecehkan dirinya sendiri. Bukankah sebelum di Pelindo II, RJ Lino pernah menjadi Managing Director di Pelabuhan Guangxi China? Apakah saat menduduki jabatan itu RJ Lino sebagai orang Indonesia atau sudah berganti kewarganegaraan asing?

Yang juga dilupakan RJ Lino, saat ini 99,9% pengelola JICT adalah anak-anak bangsa Indonesia. Dari tangan-tangan anak bangsa itulah, JICT terpilih menjadi terminal petikemas terbaik se-Asia untuk kategori di bawah 4 juta TEUs.

Selain itu, pekerja di level manajer dan operator JICT juga pernah melakukan pembenahan terminal di luar negeri seperti Oman dan Tanzania.

Dengan perpanjangan konsesi JICT, Pelindo II akan meraih manfaat senilai US$486,5 juta atau sekira Rp 6T sampai tahun 2019.

Fakta:  Duit yang disetorkan HPH tetap saja hanya US215juta. Semua hitungan uang yang disebutkan RJ Lino BUKAN dari HPH, tapi berasal dari pendapatan JICT. Semisal rental fee US$85jt/tahun itu berasal dari JICT. 

RJ Lino tidak pernah mengatakan berapa kerugian negara yang ditimbulkan akibat perpanjangan konsesi JICT hingga tahun 2039 dengan setoran modal HPH yang hanya US$215 juta dan selama 20 tahun menanggung deviden secara terus-menerus? Kami memiliki perhitungan dana yang disetorkan HPH sebesar US$215 juta kepada Pelindo II akan bisa kembali modal hanya dalam tempo 4 tahun alias sampai tahun 2019 saja. Jadi selanjutnya HPH hanya akan menangguk untung selama masa konsesi berlangsung hingga tahun 2039.

RJ Lino sama sekali tidak pernah berbicara mengenai besar mana keuntungan saham 51% Pelindo II dengan perpanjangan konsesi dibandingkan 100% saham Pelindo II seperti yang dihimbau Kementerian Perhubungan.

Itulah beberapa catatan atas pernyataan RJ Lino dalam wawancara dengan Metro TV, kemarin Kamis (5/11). Fakta-fakta seperti ini harus disampaikan ke publik agar memperoleh informasi yang seimbang, fair dan apa adanya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun