Mohon tunggu...
asep ramadhan
asep ramadhan Mohon Tunggu... profesional -

Belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Pansus Pelindo II: Dari Pencopotan Kabareskrim Hingga Perpanjangan Konsesi JICT

15 September 2015   10:42 Diperbarui: 15 September 2015   11:19 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Guntingan berita koran Rakyat Merdeka, Selasa (15/9) tentang kesiapan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membantu Polri ungkap kasus dugaan pencucian uang Pelindo II"][/caption]

Meski dibungkus dengan istilah khas tour of duty, pencopotan Komjen Pol Budi Waseso dari posisinya sebagai Kabareskrim menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap tidak bisa menutupi kecurigaan publik tentang alasan sesungguhnya di balik pencopotan tersebut. Publik tahu, sepekan sebelumnya, Jumat (28/8), Komjen Pol Budi Waseso memimpin langsung penggeledahan ruang kerja Dirut Pelindo II, RJ Lino untuk kepentingan pengembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat. Dan persis sepekan, Jumat (4/9), Kapolri mengumumkan pencopotan Komjen Pol Budi Waseso sebagai Kabareskrim.

Aroma tak sedap tentang alasan pencopotan Kabareskrim pun merebak.  Dugaan intervensi penguasa pun mencuat. Seolah membenarkan isu yang beredar: istana tidak suka Komjen Pol Budi Waseso membuat kegaduhan  di pelabuhan. Sebelumnya, Wapres JK mengaku menelepon Kabareskrim saat penggeledahan berlangsung untuk mengingatkan agar polisi berhati-hati dalam menangani dugaan kasus korupsi pengadaan alat di Pelindo II.

Komisi III DPR bereaksi. Mengecam pencopotan Kabareskrim Budi Waseso. Begitu juga Komisi VI yang meminta Menteri BUMN Rini Soemarno mencopot RJ Lino dari jabatannya sebagai Dirut Pelindo II. Komisi IX menyoroti persoalan ketenagakerjaan di Pelindo II mengacu pada laporan Serikat Pekerja tentang pemecatan sepihak yang dilakukan RJ Lino. Komisi III sepakat mengajak komisi V, VI dan IX DPR untuk membentuk Pansus Pelindo II.

Silang Sengkarut Pelindo II

Sejak Mei 2009, Menteri BUMN Sofyan Djalil menunjuk RJ Lino sebagai Dirut Pelindo II. Kehadiran RJ Lino seperti menorehkan harapan percepatan revitalisasi dan modernisasi pelabuhan di seluruh cabang Pelindo II. Apalagi di awal kehadirannya, RJ Lino banyak melontarkan gagasan besar tentang pelabuhan. Pekerja Pelindo II kagum dan terpukau.

Pada saat RJ Lino menjadi Dirut, posisi kas perusahaan Rp 1,7 Triliun. Kemudian ada tambahan kas masuk dari salah satu perusahaan mitra untuk sewa lahan Pelindo II selama 30 tahun sebesar Rp 1,3 Triliun. Diperkirakan sampai akhir tahun 2010 Pelindo II memiliki cadangan kas sekira Rp 5 Triliun.

Dengan alasan modernisasi pelabuhan, RJ Lino langsung tancap gas melakukan investasi secara besar-besaran.  Saat itu, untuk investasi alat saja diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun. Pembelian alat-alat ini pun diduga tanpa kajian yang memadai. Tidak hanya itu, Lino pun meng-hire konsultan asing yang juga diduga menghabiskan biaya ratusan milyar rupiah. Dengan alasan mendongkrak kemampuan, investasi SDM dilakukan dengan biaya besar dan sempat disorot Serikat Pekerja Pelindo II tanpa roadmap yang jelas.

Bersamaan dengan investasi yang terkesan jor-joran, ketika itu mencuat isu tentang RJ Lino yang melakukan pembelian saham PT Bukaka Teknik Utama. Belakangan diketahui keluarga RJ Lino memiliki saham 46,6% di perusahaan tersebut melalui perusahaan Armadues Aqcuisitions yang dikendalikan menantunya. Pernyataan Wapres Jusuf Kalla tentang tidak ada saham keluarga RJ Lino di PT Bukaka Teknik Utama terbantahkan.

Tahun 2012 Pelindo II memulai pembangunan proyek Kalibaru melalui Perpres No 36/2012 dalam kondisi kas perusahaan mulai habis. Di sisi lain, upaya penarikan pinjaman jangka panjang belum berhasil. Hingga  akhirnya Pelindo II peroleh pinjaman talangan (bridging loan) dari Bank Mandiri dan BNI senilai Rp 1T dalam bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dengan jangka waktu setahun.

Di tahun 2012 pula wacana perpanjangan kontrak JICT sudah mulai digagas dengan inisiasi perpanjangan dari pihak Pelindo II.  Sepertinya gagasan perpanjangan konsesi ini tidak terlepas dari ambisi besar Lino untuk melaksanakan proyek-proyek besarnya sehingga butuh back up dana yang juga besar.

Ketika jatuh tempo KMK di tahun  2013, Pelindo II belum juga memperoleh  pinjaman jangka panjang.  Financial Advisor (FA) Pelindo II memperkirakan kemampuan Pelindo II menarik pinjaman hanya sekira Rp 6-7 Triliun mengingat laba rata-rata tahunan hanya Rp 2 Triliun. Dengan kondisi pinjaman jangka panjang yang belum juga bisa diperoleh, utang KMK yang jatuh ditutup dengan menarik KMK baru senilai Rp 4T.

Tahun 2014 Pelindo II menunjuk Deutchse Bank (DB) sebagai FA. Padahal sesuai surat Dewan Komisaris , pada saat itu posisi DB sebagai FA Hutchison Port Holdings (HPH), partner Pelindo II di JICT.  Ketika itu Pelindo II berhasil mendapatkan pinjaman offshore senilai USD 1,25 miliar tapi hanya bisa dicairkan US $500 juta. Dana perolehan pinjaman ini kemudian digunakan untuk menutup KMK senilai Rp 4 triliun yang sudah jatuh tempo tahun 2014.

Mengacu pada valuasi JICT yang dilakukan DB juga, Pelindo II dan HPH menandatangani kontrak perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja pada tanggal 5 Agustus 2014. Perpanjangan konsesi berlaku hingga tahun 2039. Dalam  kontrak perpanjangan konsesi JICT itu disebutkan, up front  fee yang sebesar US $215 juta untuk imbal saham 49%, sedangkan saat privatisasi 1999 HPH membeli JICT dengan imbal saham 51% senilai US $243 juta. Padahal, jika dilihat dari kapasitas terminal sudah meningkat dua kali lipat (dari 1,4 juta TEUs di tahun 1999 menjadi 2,8 juta TEUS di tahun 2014).

Terminal Petikemas  Koja (TPK Koja) jauh lebih murah lagi. Ketika tahun 2010 Humpuss melepas saham TPK Koja ke HPH disebut-sebut nilainya US $140 juta, dalam amandemen konsesi 2014 nilainya ambrol menjadi hanya US $50 juta .

Ada apa dengan nilai up front fee yang begitu murah? Sedangkan kapasitas terminal petikemas yang sudah meningkat dua kali lipat, alat dan infrastruktur lainnya serta kemampuan SDM yang juga bisa dibilang expert dalam mengelola terminal petikemas .

Lagi-lagi muncul sinyalemen hal ini terkait dengan desakan kebutuhan Pelindo II  untuk segera memperoleh dana yang besar untuk membangun proyek-proyek yang digagas RJ Lino. Ada kesan perpanjangan konsesi JICT dan TPK Koja memang harus dilakukan agar Pelindo II bisa memperoleh dana pinjaman yang lebih besar.

Ironisnya, penandantanganan amandemen konsesi tersebut sama sekali tidak melibatkan pemerintah. Kementerian Perhubungan sebagai regulator yang merupakan pemilik hak pemberi konsesi pelabuhan tidak dilibatkan. Begitu juga Kementerian BUMN yang menyatakan perpanjangan konsesi bisa dilakukan dengan syarat mematuhi Surat Kementerian Perhubungan tentang ijin konsesi.

Tahun 2015 Pelindo II bisa menarik global bond senilai USD 1,6 miliar. Secara logika, rasanya memang sulit dipahmi ada investor yang berani menggelontorkan pinjaman sebesar itu kepada Pelindo II yang sebelumnya memiliki pinjaman offshore yang besar  (US $500 juta). Rupanya dana global bond itu digunakan untuk menutup pinjaman offshore tersebut.

Dalam hal ini, penjualan dua terminal petikemas (JICT dan TPK Koja ) yang terkesan obral serta pinjaman komersial global bond dengan rate bunga 4,5% bisa dianggap sebagai kerugian ganda bagi Pelindo II. Betapa tidak, Pelindo II harus menangungg beban bunga setahun yang mencapai Rp 1 Triliun, sementara investasi yang sudah dilakukan Pelindo II pun diduga menyisakan masalah.

Jadi, kalau kemarin Pelindo II beriklan di Kompas sampai menghabiskan miliaran rupiah, ada baiknya kita lihat bagaimana proses awal investasi Pelindo II membangun terminal ini. Diketahui, anggaran Proyek Kalibaru tahap I awalnya dengan design konstruksi reklamasi yang diperkirakan hanya menghabiskan Rp 5-6 Triliun. Namun anggaran menjadi membengkak setelah perubahan konstruksi menjadi deck on pile. Konsekuensinya terjadi perubahan anggaran yang diperkirakan menjadi dua kali lipat. Bukan hanya itu, persoalan akses jalan darat dari terminal petikemas ini sampai sekarang masih menghadapi masalah pelik dengan warga Kalibaru terkait masalah pembebasan lahan. Terminal selesai, akses ke jalan raya seperti apa?

Berbeda dengan Terminal Teluk Lamong yang 100% sahamnya dikuasai Pelindo III sehingga dibangun dan dioperasikan sendiri, saham Pelindo II di Terminal Kalibaru hanya 51%, sisanya investor asing.  Inilah yang kemudian memunculkan kritikan dari para pengamat maritim, kenapa Pelindo II ‘memaksa’ pemerintah mengeluarkan Perpres 36/2012 yang jelas-jelas mengamanatkan Pelindo II untuk membangun dan mengoperasikan sendiri terminal, namun pada kenyataannya separuh saham terminal itu dikuasai asing.

Yang dipaparkan itu baru beberapa persoalan yang terjadi di Pelindo II. Tentang investasi pengadaan alat yang diduga bermasalah sekarang masih ditangani KPK, Kejaksaan, Bareskrim Mabes Polri, dibantu PPATK. Terlepas dari hal tersebut, kita berharap, gagasan DPR membentuk Pansus Pelindo II bisa segera diwujudkan untuk mengetahui duduk perkara sebenarnya dari sejumlah persoalan yang muncul di Pelindo II. Karena seperti dikatakan mantan Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso, penyelidikan atas kasus dugaan korupsi pengadaan 10 unit mobile crane merupakan entry gate dari kasus-kasus lainnya di Pelindo II. Publik ingin semua persoalan itu dituntaskan  secara fair dan berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya, sehingga penuntasan kasus ini pada akhirnya  akan turut membantu mewujudkan pelabuhan sebagai gerbang ekonomi nasional yang pemanfaatannya semata-mata demi kepentingan rakyat. Semoga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun